Draf Perpres Pelibatan TNI Tangkal Terorisme Diusulkan Memuat 7 Prinsip Ini
Utama

Draf Perpres Pelibatan TNI Tangkal Terorisme Diusulkan Memuat 7 Prinsip Ini

Karena potensi menimbulkan konflik kewenangan antara TNI dengan lembaga lain, Komnas HAM mengusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk mencabut draf Perpres itu dan membentuk UU Perbantuan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

“Draf Perpres ini diyakini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih tugas dengan lembaga lain seperti polisi, BNPT, dan intelijen,” tegasnya.

Al mengusulkan agar rancangan Perpres memuat sedikitnya 7 prinsip utama dalam pelibatan militer dalam menangkal aksi terorisme. Pertama, pelibatan militer harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara sesuai Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No.34 Tahun 2004. Kedua, pelibatan TNI bisa dilakukan ketika ancaman terorisme berada dalam eskalasi tinggi, terjadi secara sistematis, dan meluas dimana kapasitas aparat penegak hukum tidak bisa mengatasinya.

Ketiga, pelibatan militer dalam penanganan terorisme di dalam negeri adalah pilihan terakhir (last resort). Keempat, prajurit yang dilibatkan dalam menangani terorisme berada dalam kerangka tugas perbantuan TNI kepada pemerintah. Karena itu, Al berpendapat pemerintah seharusnya memprioritaskan menerbitkan UU Perbantuan. Kelima, pelibatan militer bersifat proporsional dan dalam jangka waktu tertentu (sementara). Keenam, akuntabilitas dalam sistem peradilan. Ketujuh, pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan UU lainnya.

Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, mengatakan lembaganya sudah melayangkan surat ke Presiden dan DPR terkait rancangan Perpres ini. Intinya substansi yang diatur dalam rancangan Perpres bertentangan dengan berbagai UU seperti UU No.34 Tahun 2004; UU No.5 Tahun 2018; dan UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Misalnya, Perpres ini memberi ruang besar bagi TNI untuk bertindak sendiri mengatasi aksi terorisme. Padahal, penanganan terorisme dalam sistem peradilan pidana menempatkan aparat penegak hukum sebagai aktor utama (garda depan).  Dalam surat tersebut, Komnas HAM mengusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk mencabut draf Perpres itu dan membentuk UU Perbantuan.

Jika pemerintah tetap ngotot mau menerbitkan Perpres ini, Anam mengusulkan agar pelibatan TNI harus diatur dalam mekanisme perbantuan, sifatnya tidak permanen dan di bawah koordinasi kepolisian. “Kami tidak menolak TNI terlibat dalam menangani terorisme, tapi pelibatan ini baru dilakukan jika aparat kepolisian sudah tidak sanggup, pelibatan ini sifatnya sementara, bukan permanen,” kata Anam.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani melihat substansi rancangan Perpres sama seperti substansi yang sempat mau dimasukan sejumlah pihak dalam proses pembahasan UU No.5 Tahun 2018 di DPR. Bahkan ketika UU itu dibahas ada yang mengusulkan judulnya diubah. Arsul mengakui ada sejumlah pihak yang mengusulkan substansi tersebut antara lain anggota DPR yang berlatar belakang TNI. Hal ini yang menyebabkan pembahasan UU No.5 Tahun 2018 di DPR molor sampai 18 bulan.

Menurut Asrul, draf Perpres itu seharusnya mengatur praktik perbantuan TNI yang sudah berjalan selama ini seperti operasi Tinombala. Operasi Polri dan TNI dalam memberantas terorisme itu tergolong berhasil. Pelibatan TNI harus berbasis skala ancaman, bukan peristiwa. Walaupun pemerintah telah menyerahkan draft ini ke DPR, Asrul mengatakan masih terbuka peluang luas bagi masyarakat untuk memberi masukan. “Masyarakat silakan memberikan masukan terhadap rancangan Perpres ini,” kata Arsul beberapa waktu lalu.

Tags:

Berita Terkait