Dilema Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19
Utama

Dilema Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19

Satu sisi, setiap warga negara tidak boleh menghalangi petugas dalam penanggulangan wabah (kewajiban). Di sisi lain, setiap warga negara berhak memillih pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Karena itu, sanksi bagi yang menolak divaksin seharusnya cukup dengan sanksi administrasi saja.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Sedangkan, terdapat hak masyarakat untuk memilih sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Hal ini tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya,” kata dia.

Baginya, kebebasan menentukan layanan kesehatan dapat dibatasi dengan UU, sepanjang pembatasan itu tidak justru bertentangan dengan upaya penciptaan kesehatan; pembatasan dilakukan untuk mewujudkan kesehatan umum yang lebih luas; dan keputusan pembatasan itu dilakukan menggunakan mekanisme hukum yang demokratis. Hal ini, termuat dalam Pasal 4 Konvenan International tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Harapan mengakhiri pandemi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UII, Ana Fauziah menilai vaksinasi Covid-19 menjadi bagian harapan untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Di berbagai negara termasuk Indonesia sudah mulai dilakukan vaksinasi covid-19. Vaksin Sinovac telah diuji di berbagai negara termasuk, Brazil, Turki dan Indonesia. Di Indonesia, vaksin ini telah melalui uji kinis dan terbukti tidak ada efek samping yang berat.

“Vaksin Covid-19 akan menstimulasi terbentuknya antibodi. Antibodi baru terbentuk sekitar 31 hari setelah vaksin, diperlukan booster vaksin setidaknya 14 hari setelah vaksi pertama. Dan, protokol kesehatan tetap harus dilakukan walaupn sudah menjalani vaksinasi covid-19,” kata dia.

Suntikan pertama, jelasnya, ditujukan memicu respons kekebalan awal. Sedangkan suntikan kedua untuk menguatkan respons imun yang terbentuk. Saat seseorang dinyatakan positif setelah vaksinasi. Itu artinya saat divaksinasi seseorang tersebut sudah terpapar/terinfeksi Covid-19 dan sedang dalam masa inkubasi. 

Ia mengatakan vaksin Covid-19 Sinovac telah teruji keamanan, mutu, khasiat dan kehalalannya. Vaksin ini dikembangkan menggunakan metode inactivated vaccine, yang telah terbukti aman, tidak menyebabkan infeksi serius serta hampir tidak mungkin menyebabkan seseorang terinfeksi. 

“Adanya program vaksinasi yang telah berjalan saat ini, tak lantas membuat kita lengah menjalankan protokol kesehatan. Sebaliknya, proses vaksinasi harus paralel dengan pelaksanaan 3M dan 3T.”

Sebelumnya, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai tafsir Wamenkumham sangat berlebihan. Dia beralasan penerapan sanksi pidana dalam UU 6/2018 bila memenuhi dalam kondisi. Pertama, bila pilihan keputusan pemerintah menyatakan karantina wilayah, bukan PSBB. Kedua, tindakan yang dapat dikriminalisasi atau dipidana antara lain keluar masuknya wilayah karantina tanpa izin. Ketiga, subjeknya adalah para supir, nahkoda, dan pilot.

“Begitu pula bagi orang per orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi penyelenggaraan karantina dan menyebabkan kedaruratan dengan adanya unsur perlawanan terhadap kebijakan karantina,” kata Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi Hukumonline, Kamis (14/1/2021) lalu.    

Dengan begitu, menurutnya tafsir Wamenkumham bagi yang menolak disuntiik vaksin Covid-19 bisa dijerat Pasal 93 UU 6/2018 berlebihan dan keliru. “Itu tafsir lebay. Ini menurut saya tidak relevan. Karena kita hanya (penetapan, red) PSBB. Demikian pula kedaruratan itu terjadi bukan karena satu dua orang, melainkan situasi pandemi kedaruratan yang menyeluruh,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait