Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka
Kolom

Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka

Kesederajatan di mata hukum dan pemerintahan mengenai perempuan-laki tidaklah mudah.

Bacaan 6 Menit
Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka
Hukumonline

Apa yang menjadi alasan pembenar bagi kita semua, terutama kelompok laki-laki dewasa - pengemban hukum teoritik atau praktikal atau bahkan awam atau lebih dari itu penguasa negara – untuk mengambil kewenangan penuh dan, sekaligus dengan itu, mengambil-meniadakan hak perempuan dewasa untuk menentukan kapan dan bilamana mereka mengalami ketidakadilan dalam bentuk pelecehan dan/atau kekerasan seksual? Selanjutnya apakah ada jawaban mudah yang berlaku sebagai kebenaran absolut?

Persoalan di atas kiranya tersembunyi di balik perdebatan tentang maksud-tujuan atau dugaan akibat (yang mungkin muncul dari) Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 tentang Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Perdebatan sama yang sebelumnya juga mengiringi pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada 2016 silam.

Kritik terutama ditujukan pada frasa “tanpa persetujuan” (without consent) - dilekatkan pada sejumlah perilaku bernuansa seksual sebagai prakondisi pengkategoriannya sebagai pelanggaran hukum – justru akan serta merta melegalkan perbuatan asusila dan seks bebas (berbasis persetujuan) dalam masyarakat kampus atau masyarakat pada umumnya.

Bersamaan dengan itu, untuk mendukung keberatan di atas, juga seringkali ditambahkan kontras diametral budaya Timur-Agamis (masyarakat religius dengan moralitas tinggi; di mana seks sama sekali tidak bebas?) dengan budaya Barat (individualis-liberalis-sekuler dan sebab itu juga merupakan masyarakat a-moral dengan perilaku seks yang sangat bebas?). Perbandingan karikatural yang jelas tidak mencerminkan realita baik di Timur maupun Barat.

Kendati begitu, implisit juga terbaca bahwa para kritikus itu, dengan atau tanpa bantuan metoda penafsiran hukum, menyimpulkan bahwa frasa “tanpa persetujuan” serta merta berarti bahwa (calon) “korban” (terutama kelompok rentan dalam suatu relasi kuasa) akan didorong untuk berperilaku “murahan” dan sebab itu setiap saat akan memberikan persetujuan (untuk dilecehkan melalui berbagai perilaku atau mengalami kekerasan seksual).

Membangun Kehidupan Kampus yang Aman bagi Perempuan

Pandangan berbeda – namun tanpa menyinggung hal-ikhwal frasa tanpa persetujuan – menyoroti “niat baik” di balik tujuan (telos) dari Permendikbudristek 30/2021, yaitu, pada akhirnya, menciptakan iklim akademis atau budaya kampus yang baik dan aman bagi mungkin setengah atau lebih populasi civitas academica. Mengingat ada banyak kejadian pelecehan-kekerasan seksual yang dilaporkan, terkait dengannya fenomena gunung es, di lingkungan perguruan tinggi, maka dianggap perlu ada panduan bagi pengelola kampus untuk menjamin terciptanya budaya akademik dan belajar yang baik.

Dalam lingkungan ini, terutama mereka yang rentan (dalam relasi kuasa dan ketidaksetaraan kehidupan kampus) seharusnya dapat melaksanakan tridharma Perguruan Tinggi sebaik mungkin. Mereka inilah yang harus menikmati “perlindungan dari payung hukum (Permendikbudristek)” agar dapat, tanpa takut dan cemas akan intimidasi-pemerasan (yang bisa berujung pada pelecehan-kekerasan seksual) yang berpotensi dilakukan pemegang kuasa (structural-akademik atau lainnya), dapat belajar, bekerja dan berkarier di lingkungan pendidikan tinggi.

Apakah Perempuan juga Manusia Setara Pria?

Kiranya tidak dapat dipungkiri persoalan lebih mendasar, melampaui kontroversi pemaknaan apakah frasa tanpa persetujuan akan atau tidak [akan] melegalkan perilaku seks bebas, adalah bagaimana kita semua di Indonesia - terutama kelompok laki-laki – memandang tuntutan kesederajatan perempuan dan hak mereka untuk dengan bebas merdeka menentukan-mengekspresikan diri, juga dalam kehidupan seksual (dalam arti luas).

Pada suatu masa, di zaman Yunani kuno, di masa sebelum atau bahkan di masa hidup Socrates, Platon dan Aristoteles, serta filsuf-filsuf Yunani kuno lainnya, hal di atas bukan soal. Mereka yang disebut manusia hanya pria dewasa yang merdeka. Hanya mereka yang diakui hukum memiliki suara untuk menentukan kemaslahatan bersama (res publicum).

Perempuan dan anak (pria atau perempuan), setara dengan budak belian, tidak memiliki suara di forum publicum. Mereka adalah “milik” dan berada di bawah kekuasaan sepenuhnya dari kepala keluarga (pater familias). Nasib dan peruntungan mereka bukan urusan bersama masyarakat, namun menjadi urusan privat di mana perintah-kehendak pater familias berlaku sebagai hukum.

Pemosisian perempuan sebagai harta benda milik kepala keluarga juga muncul ketika anak perempuan menjadi komoditi, modal atau alat tukar untuk meningkatkan kedudukan sosial ekonomi keluarga atau jalan untuk menaikan status-derajat sosial ekonomi keluarga asal. Anak perempuan dari Raja atau bangsawan ditawarkan atau diserahkan untuk menjalin aliansi politik atau sebagai upeti.

Perkawinan politik, misalnya, dilakukan berdasarkan kalkulasi kepentingan-kepentingan yang jelas tidak terkait dengan pandangan dan kepentingan perempuan yang dipertukarkan. Kemungkinan besar nasib anak perempuan dari keluarga masyarakat kebanyakan tidak berbeda jauh.

Dapat dibayangkan bahwa dalam situasi seperti ini, tidak ada konsep tentang salah atau kelirunya pelecehan atau kekerasan seksual yang dilakukan pria dewasa (kepala keluarga) terhadap mereka yang bukan manusia (perempuan-anak-budak) selama mereka itu sepenuhnya berada di bawah kekuasaannya. Tentu akan berbeda bilamana yang dilecehkan-diperkosa adalah “milik” orang atau keluarga lain.

Dalam hal ini ikhwalnya adalah merusak barang milik orang lain atau tindakan yang dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap kehormatan keluarga. Bahkan kadangkala hal itu justru dilakukan dengan sengaja, misalnya dalam perang, untuk menghina-merendahkan martabat lawan-musuh atau menegaskan kedudukan lebih tinggi dari pemenang perang.

Pandangan tentang kedudukan perempuan dan anak juga tekait erat dengan pembagian peran dalam kehidupan domestik. Pengurusan dan pengelolaan urusan domestik (rumah tangga), di mulai dari menjadi “wadah” bagi “bibit” para pria (suami) dalam konteks meneruskan garis keturunan lelaki, mengurus dan merawat anak sampai dengan urusan dapur sepenuhnya adalah tugas istri-perempuan.

Itu pun kemudian dikontruksikan sebagai tugas suci-mulia (demi kemuliaan dan kehormatan keluarga) atau dilegitimasi sebagai kodrat ataupun kewajiban hukum. Itu juga berarti nilai-harga perempuan dalam ikatan perkawinan bisa mengalami kenaikan atau penurunan tergantung sejauh mana ia dapat memenuhi kodratnya, atau menjalankan kewajiban utama, terutama untuk meneruskan garis keturunan kepala keluarga.

Pemosisian demikian juga berkelindan dengan pandangan masyarakat umum perihal kontras-diametral dan stereotyping pria dan perempuan. Laki sebagai (calon) pimpinan keluarga sudah seharusnya kuat, berani, tegas, tidak cengeng (semua sifat maskulin) dan perempuan sebagai calon ibu harus penyayang, penyabar, lemah-lembut, penurut (semua sifat feminine) dan sebab itu wajib dilindungi bahkan dari dirinya sendiri. Kewajiban yang dibebankan pada kepala keluarga dan semua saudara laki-laki dari perempuan itu, sampai hal itu bisa diserahterimakan pada suami dan/atau keluarga pihak suami.

Berjuang untuk Kesetaraan Perempuan atau Kebebasan untuk Menjadi Manusia?

Mengubah pandangan di atas dengan menyatakan perlu-pentingnya kesederajatan di mata hukum dan pemerintahan mengenai perempuan-laki tidaklah mudah. Kisah R.A. Kartini dan lainnya untuk “memperjuangkan” pengakuan akan harkat sebagai manusia – tidak serta merta sama dengan pria - jelas berbenturan dengan pandangan “masyarakat” yang sudah mengakar tentang tempat perempuan yang seharusnya dalam keluarga dan masyarakat.

Bahkan Hukum Keluarga di Indonesia masih mengukuhkan ‘kodrat’ dan ‘posisi perempuan’ di bawah kepala keluarga. Beranjak dari pemosisian ini pula kita dapat memahami keberatan keras yang diajukan terhadap pandangan mungkinnya seorang istri mengalami perkosaan oleh suami. Bukankah seorang istri yang sudah menyerahkan sepenuhnya tubuh dan jiwanya pada suami dalam ikatan perkawinan harus siap sedia melayani dan memberikan pada suami apa yang dianggap hak utamanya?

Kiranya dapat ditelisik bahwa di balik keberatan ini adalah persoalan seberapa jauh seorang perempuan (dalam status sebagai istri atau lajang) berwenang menentukan kapan-bagaimana akan – dengan pilihan diksi yang aneh – “menyerahkan” tubuh (dan mungkin sekaligus dengan itu) jiwanya pada seorang pria atau seorang lain sesuai pilihan bebasnya.

Pada satu sisi, perdebatan tentang hal ini akan bersentuhan dengan konsep pergendakan-zina dalam KUHPidana atau zina dalam hukum Islam. Keduanya, sebagai hominim, sebenarnya dilandaskan pada pandangan yang jauh berbeda.

KUHPidana yang melarang perzinahan-pergendakan harus dibaca dalam konteks janji nikah antara suami-istri untuk bersetia satu sama lain. Sedangkan zina dalam hukum Islam menyasar hampir semua perbuatan berkonotasi seksual di antara perempuan-laki di luar hubungan perkawinan atau kadang secara khusus pada hubungan seksual di luar nikah yang sertamerta dipandang mala in se.

Pada lain pihak, dan jauh lebih mendalam, hal ini terkait dengan ihwal seberapa jauh “kebebasan memilih” di atas akan dipercayakan dan diserahkan pada perempuan yang juga sedianya dianggap berkuasa penuh atas ketubuhan dan seksualitasnya – terimplikasikan pada frasa dengan/tanpa persetujuan, untuk melakukan banyak hal yang terkait dengan relasi pria-perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Maka, bahkan, perbuatan sederhana seperti menyentuh tangan atau mengelus rambut seorang perempuan bisa dibayangkan dapat berubah menjadi ancaman, dan sebab itu melawan hukum, bilamana dilakukan tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Ini juga akan memaksakan perubahan sikap pada pria yang tidak lagi dapat mengasumsikan banyak hal tentang perempuan dan tubuh mereka. Misalnya, mereka yang diam berarti setuju atau mereka yang agresif otomatis dapat dipandang nakal dan murahan dan sebab itu layak – tanpa takut adanya tuntutan pertanggungjawaban hukum – diperlakukan semena-mena.

Kata Akhir

Frasa persetujuan atau tanpa persetujuan yang diperdebatkan dengan sungguh-sungguh sejatinya mengimplikasikan pertama kesederajatan para pihak dan dengan itu pula adanya kecakapan dan kemampuan para pihak untuk menyadari-memahami konsekuensi persetujuan atau ketidaksetujuan. Ini kiranya serupa dengan doktrin yang melandasi keabsahan perjanjian dalam hukum perikatan atau kebebasan berkontrak.

Pemahaman seperti ini tentu jauh panggang dari api dengan konstruksi argumen bahwa memberikan kebebasan dan pilihan pada perempuan, terutama dalam konteks bagaimana ia hendak diperlakukan oleh pria di sekelilingnya, serta merta berarti melegalkan semua bentuk pelecehan-kekerasan seksual.

*)Tristam Pascal Moeliono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait