Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka
Kolom

Dengan atau Tanpa Persetujuan dalam Konteks Hak Perempuan Bebas-Merdeka

Kesederajatan di mata hukum dan pemerintahan mengenai perempuan-laki tidaklah mudah.

Bacaan 6 Menit

Apakah Perempuan juga Manusia Setara Pria?

Kiranya tidak dapat dipungkiri persoalan lebih mendasar, melampaui kontroversi pemaknaan apakah frasa tanpa persetujuan akan atau tidak [akan] melegalkan perilaku seks bebas, adalah bagaimana kita semua di Indonesia - terutama kelompok laki-laki – memandang tuntutan kesederajatan perempuan dan hak mereka untuk dengan bebas merdeka menentukan-mengekspresikan diri, juga dalam kehidupan seksual (dalam arti luas).

Pada suatu masa, di zaman Yunani kuno, di masa sebelum atau bahkan di masa hidup Socrates, Platon dan Aristoteles, serta filsuf-filsuf Yunani kuno lainnya, hal di atas bukan soal. Mereka yang disebut manusia hanya pria dewasa yang merdeka. Hanya mereka yang diakui hukum memiliki suara untuk menentukan kemaslahatan bersama (res publicum).

Perempuan dan anak (pria atau perempuan), setara dengan budak belian, tidak memiliki suara di forum publicum. Mereka adalah “milik” dan berada di bawah kekuasaan sepenuhnya dari kepala keluarga (pater familias). Nasib dan peruntungan mereka bukan urusan bersama masyarakat, namun menjadi urusan privat di mana perintah-kehendak pater familias berlaku sebagai hukum.

Pemosisian perempuan sebagai harta benda milik kepala keluarga juga muncul ketika anak perempuan menjadi komoditi, modal atau alat tukar untuk meningkatkan kedudukan sosial ekonomi keluarga atau jalan untuk menaikan status-derajat sosial ekonomi keluarga asal. Anak perempuan dari Raja atau bangsawan ditawarkan atau diserahkan untuk menjalin aliansi politik atau sebagai upeti.

Perkawinan politik, misalnya, dilakukan berdasarkan kalkulasi kepentingan-kepentingan yang jelas tidak terkait dengan pandangan dan kepentingan perempuan yang dipertukarkan. Kemungkinan besar nasib anak perempuan dari keluarga masyarakat kebanyakan tidak berbeda jauh.

Dapat dibayangkan bahwa dalam situasi seperti ini, tidak ada konsep tentang salah atau kelirunya pelecehan atau kekerasan seksual yang dilakukan pria dewasa (kepala keluarga) terhadap mereka yang bukan manusia (perempuan-anak-budak) selama mereka itu sepenuhnya berada di bawah kekuasaannya. Tentu akan berbeda bilamana yang dilecehkan-diperkosa adalah “milik” orang atau keluarga lain.

Dalam hal ini ikhwalnya adalah merusak barang milik orang lain atau tindakan yang dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap kehormatan keluarga. Bahkan kadangkala hal itu justru dilakukan dengan sengaja, misalnya dalam perang, untuk menghina-merendahkan martabat lawan-musuh atau menegaskan kedudukan lebih tinggi dari pemenang perang.

Tags:

Berita Terkait