Cita-Cita Sang Pendiri yang Ingin Firma Hukum 'Hidup' Ratusan Tahun
Sejarah Kantor Advokat Indonesia:

Cita-Cita Sang Pendiri yang Ingin Firma Hukum 'Hidup' Ratusan Tahun

Institusi law firm akan tetap "hidup" meski founding partner-nya pensiun atau meninggal dunia.

Novrieza Rahmi/Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Tuti Hadiputranto salah satunya. Pendiri HHP ini mengatakan, cita-citanya ketika mendirikan HHP adalah membuat sebuah institusi firma hukum di Indonesia. Ia menginginkan agar firma hukum di Indonesia bisa tetap hidup beratus-ratus tahun seperti di Amerika dan Eropa, meski pendirinya sudah meninggal atau pensiun.  

 

"(Misal) Sole proprietor dengan 10 assosiates, 10-nya semua keluar, terus si sole proprietor-nya tidak bisa apa-apa lagi, mati, bagaimana? Kapan mau menjadi satu law firm besar? Di Amerika, Inggris, di Eropa itu law firm umurnya sudah ratusan tahun, sudah menjadi kuat, menjadi besar. Masa di tempat kita kok tidak bisa," katanya kepada Hukumonline. Baca Juga: Kiprah SSEK dan ‘Warisan’ Advokat Asing

 

HHP sendiri, pertama kali berdiri hanya memiliki 15 orang pegawai yang terdiri dari enam lawyer (advokat) dan sisanya staf. Semakin hari, HHP semakin tumbuh menjadi institusi firma hukum besar. Bahkan, ketika Tuti memasuki pensiun pada 2016 lalu, jumlah lawyer dan staf di HHP sudah melebihi 300 orang.

 

Hukumonline.com

Foto Istimewa: Dokumentasi HHP

 

Sesuai karakteristiknya, firma hukum yang berbentuk institusi tidak akan "mati" kendati "ditinggalkan" para pendirinya. Demi kelangsungan hidup institusi tersebut, tentu harus ada regenerasi. Menurut Tuti, firma hukum berbentuk institusi pasti akan membuka peluang kepada semua lawyer untuk menjadi partner.  

 

"Memberikan opportunity kepada semua lawyer yang bekerja di situ untuk one day (suatu hari) mereka bisa mencapai menjadi partners on the top. Kalau partner itu kan ada, tergantung dari masing-masing law firm ya, kadang-kadang ada tingkatan-tingkatannya. Tapi, kesempatan untuk menjadi partners yang equal on the top itu ada," ujarnya.

 

Jadi, sambung Tuti, tidak ada perbedaan perlakuan antara founding partner dengan partner yang merintis dari bawah. Konsep inilah yang diterapkan Tuti saat masih berada di HHP. Konsep lain yang pernah diterapkan Tuti adalah bahwa pendiri sama sekali tidak boleh mempunyai economic interest berupa apapun saat sudah tidak lagi bekerja di HHP.

 

"Tidak fair (adil) kalau saya (misalnya sebagai pendiri) masih meminta sesuatu dari kantor tersebut (walau sudah pensiun di HHP). Karena artinya apa? Orang-orang yang bekerja di sana, baik lawyer maupun partner pasti memberikan subsidi atau kontribusi pada saya, sedangkan saya sudah tidak berkontribusi apapun lagi," imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait