Belajar Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Melalui Drama Korea (Bagian 2)
Kolom

Belajar Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Melalui Drama Korea (Bagian 2)

​​​​​​​Melalui kerja sama para periset hukum dengan para sineas serta produser film bisa secara cepat membuat film yang menguliti konteks dan budaya penegakan hukum di tanah air.

Bacaan 5 Menit
Belajar Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Melalui Drama Korea (Bagian 2)
Hukumonline

Mirip dengan Indonesia, Korea Selatan menganut sistem Inquisitorial civil law yang diterapkan sejak negara itu dijajah Jepang pada awal abad ke 20. Sistem politik Korea Selatan juga tidak jauh dari kondisi Indonesia; sama-sama pernah lama dipimpin oleh rezim militer dan juga melakukan amandemen Konstitusi besar-besaran pasca jatuhnya rezim militer pada tahun 1987.

Sejak saat itu mereka melakukan banyak perubahan besar dalam sistem peradilan pidana. Konsitusi Korea Selatan saat ini mengatur secara tegas jaminan due process dan juga jaminan terhadap independensi peradilan dan aparat penegak hukumnya (Cho 2006). Pada tahun 2004 mereka juga mereformasi UU Kejaksaan dengan memberikan jaminan independensi bagi para jaksa dalam melakukan penuntutan bebas dari intervensi politik (Lee 2014). Bisa kita lihat ekses dari aturan ini, hampir semua film Korea bertema hukum jaksa berposisi sebagai dominus litis yang memiliki kendali penuh atas perkara yang mereka tangani sejak awal penyidikan.

Tokoh sentral dalam Drama Korea Law School juga tidak jauh-jauh dari profesi jaksa. Adegan pembuka yang menjadi titik sentral film ini adalah kasus pembunuhan Profesor Seo Byung Ju, seorang mantan jaksa yang sedang mengampu mata kuliah moot court kasus pidana. Sedangkan tersangka utama pembunuhan ini adalah Prof Yang Jong Hoon, pengajar hukum pidana yang juga seorang mantan jaksa.

Polisi menemukan sidik jari Prof Yang di tubuh korban dan di beberapa barang bukti yang ada di tempat kejadian perkara. Jaksa yang menangani kasus ini meyakini motif Prof Yang membunuh Prof Seo dikarenakan dendam lama saat mereka berdua sama-sama menjadi jaksa. Prof Yang adalah mantan bawahan Prof Seo di Kejaksaan yang mencurigai atasannya ini melakukan korupsi. Namun karena kurangnya bukti, dia tidak bisa menjerat Seo sebagai pelaku korupsi. Dia kemudian memilih mundur dari Kejaksaan dan menjadi dosen di Universitas Hankuk.

Sebagaimana prinsip pencarian kebenaran materiil yang diyakini oleh sistem inquisitorial termasuk di Indonesia, kita akan disuguhi bahwa barang bukti berupa sidik jari dan DNA pun tidak cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka. Dibutuhkan alat bukti lain termasuk kesaksian orang-orang yang berhubungan dengan suatu kasus untuk menyusun fakta perkara yang membantu hakim menyusun kebenaran materiil suatu perkara.

Pencarian kebenaran materiil dalam persidangan itu diibaratkan oleh Prof Yang, seperti kita sedang menyusun puzzle dari kepingan fakta yang berserakan. Adegan ini bisa kita temukan saat Prof Yang membantu juri di persidangan untuk memahami tugas mereka. Sekadar informasi, Korea Selatan sejak 2009 memang telah memberlakukan sistem juri dalam proses pembuktian persidangan pidana.

Namun demikian sebagaimana dapat kita ikuti di film ini, jaksa juga tidak dapat seenaknya menyalahgunakan kewenangannya. Mereka dapat dituntut karena melanggar hak asasi karena mengumumkan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti yang kuat. Kita akan disuguhkan perdebatan soal ini hingga sidang di Mahkamah Konstitusi. Peran vital penasihat hukum juga digambarkan secara baik dalam kasus pelecehan seksual yang melibatkan putra politisi berpengaruh. Untuk menghindari bias hakim, pengacara dapat mengajukan pemeriksaan oleh juri dalam memutuskan kebersalahan terdakwa.

Seperti halnya telah dikemukakan oleh banyak studi, pembuktian kasus kekerasan seksual utamanya yang melibatkan pelaku dengan latar belakang politik yang kuat cukup sulit. Sebagaimana tergambar dalam film ini, upaya untuk meyakinkan aparat peradilan terkait adanya alasan pembelaan diri dalam kasus kejahatan seksual juga menjadi cukup menantang. Ini yang barangkali menjadi perhatian banyak pihak di Indonesia saat mendesakkan urgensi pengaturan penghapusan kekerasan seksual.

Kasus lain yang mungkin dapat kita refleksikan dari drakor ini dengan situasi di Indonesia saat ini adalah proses pemidanaan terhadap para buzzer yang dibayar oleh politisi untuk menaikkan pamor mereka sekaligus menjatuhkan lawan politik atau masyarakat yang kritis terhadap kebijakan yang mereka keluarkan.

Setting dalam drakor ini nampaknya juga diilhami oleh beberapa kasus riil di negeri ginseng tersebut. Pada tahun 2017 yang lalu misalnya, Pengadilan Tinggi Korea Selatan menghukum mantan direktur Badan Intelijen Nasional Won Sei-hoon empat tahun penjara karena memberikan perintah kepada agen intelijen untuk memposting ribuan komentar online dan 1,2 juta postingan di Twitter yang menyebarkan isu bahwa oposisi pemerintah merupakan simpatisan Korea Utara.

Preseden serupa dapat kita lihat di kasus mantan menteri pertahanan Kim Kwan-jin yang dijatuhi hukuman penjara dua tahun enam bulan penjara pada Februari 2019 karena telah memobilisasi unit komando di dunia maya untuk melakukan kampanye kotor melawan kandidat dari oposisi dalam pemilihan umum tahun 2012 demi kepentingan petahana.

Absennya pengaturan tentang perlindungan data pribadi dan belum adanya pengaturan pemidanaan terhadap buzzer yang merisak dan menghalalkan segala cara untuk mempengaruhi opini publik menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan saat ini di tanah air. Dari film ini kita tahu, bukan tidak mungkin melakukan pemidanaan terhadap buzzer yang melakukan manipulasi fakta demi kepentingan politik praktis.

Sebagaimana film-film Korea Selatan dengan plot hukum lainnya kita juga akan disuguhi sekuen tentang perselingkuhan politik antara aparat penegak hukum dengan para politisi yang sedang berkuasa. Dari banyak riset, sesungguhnya kita akan mafhum bahwa isu penegakan hukum tidak akan jauh dari kepentingan politik rezim yang berkuasa (Skinner 2015).

Khusus di Korea Selatan, kewenangan yang cukup besar yang dimiliki oleh Kejaksaan membuat para politisi bahkan hingga level Presiden pun memilih untuk melakukan kompromi politik dengan para jaksa. Simbiosis mutualisme antara jaksa dan politisi ini dapat kita baca dalam disertasi Sun Woo Lee pada tahun 2014. Ini tentu tidak beda dengan kondisi sistem peradilan pidana di Indonesia, riset Jacqueline Baker (2012) tentang Polisi, Sebastiaan Pompe (2012) tentang pengadilan dan riset disertasi tentang Kejaksaan yang saya pertahankan di Leiden Januari 2021 kemarin menunjukkan keterkaitan erat antara sistem peradilan pidana dengan rezim politik yang berkuasa.

Akhirnya, dengan makin menjamurnya film-film asing bertema hukum seperti ini kita berharap akan menggugah sineas film tanah air untuk lebih serius menguliti konteks dan budaya penegakan hukum di tanah air. Sudah banyak riset yang dilakukan oleh para akademisi dan masyarakat sipil di tanah air yang dapat dijadikan inspirasi untuk membuat film atau bahkan drama ringan bertema hukum.

Saya kira melalui kerja sama para periset hukum dengan para sineas serta produser film bisa secara cepat mewujudkan harapan ini. Tentu ini harus dibarengi dukungan pemerintah untuk menjamin kebebasan berekspresi tanpa ada perasaan kuatir akan diperkarakan secara pidana karena tuduhan melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.

*)Fachrizal Afandi, Ketua Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB). Saat ini meneliti sistem peradilan pidana di negara-negara pasca otoriter termasuk Korea Selatan.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Brawijaya dalam program Hukumonline University Solution

Tags:

Berita Terkait