Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga, Saatnya Reformulasi Pengaturan Perkosaan
Kolom

Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga, Saatnya Reformulasi Pengaturan Perkosaan

​​​​​​​Jangan sampai pelaku menjadi tidak dapat dijerat karena aturan hukum yang memang tidak memadai.

Bacaan 2 Menit
  • Pertama, perkosaan mensyaratkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang dalam hal ini dilakukan oleh pelaku kepada korban secara paksa;
  • Kedua, perkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria (pelaku) terhadap seorang wanita (korban);
  • Ketiga perkosaan diartikan secara sangat sempit sebagai persetubuhan, yaitu penetrasi penis terhadap vagina sebagai konsekuensi dari pemikiran bahwa perkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria (pelaku) terhadap seorang wanita (korban); dan  
  • Keempat, perkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita, dimana keduanya tidak terikat perkawinan.  

 

Dalam perkembangannya, pengaturan perkosaan dalam ketentuan pasal ini menuai banyak kritik karena dianggap sudah usang dan tidak memadai lagi terutama apabila dikaitkan dengan modus operandi perkosaan yang terus berkembang.

 

Beberapa kritik terhadap Pasal 285 KUHP

Pertama, KUHP tidak secara eksplisit menjelaskan apa yang dimaksud dengan “kekerasan atau ancaman kekerasan”. Apabila menggunakan tafsir otentik, ketentuan pasal 89 KUHP hanya sebatas menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”

 

Dengan mengacu pada ketentuan pasal tersebut, berbagai doktrin dan putusan pengadilan berpandangan bahwa pada prinsipnya unsur “kekerasan” dalam ketentuan pasal ini diartikan sebagai kekerasan secara fisik, seperti misalnya menyeret, memukul, membanting tubuh korban atau mengikat kaki dan atau tangan korban agar korban tidak dapat melawan.

 

Unsur kekerasan ini dalam praktik juga kerap kali ditafsir sebagai kekerasan secara fisik yang menimbulkan luka pada tubuh korban yang kemudian harus dibuktikan berdasarkan visum et repertum. Pemahaman sempit ini menimbulkan masalah karena terdapat kemungkinan korban baru melapor berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah kejadian sehingga luka fisik yang dialaminya sudah sembuh atau bahkan hilang sama sekali.

 

Kemudian terkait unsur “ancaman kekerasan”, dalam praktik penegakan hukum, unsur ini juga kerap kali masih diartikan secara sempit sebatas ancaman untuk menggunakan kekerasan terhadap korban, seperti misalnya ancaman akan dipukul atau dibunuh. Sementara itu, bentuk-bentuk ancaman terhadap korban perkosaan terus berkembang, terutama dalam konteks dimana terdapat relasi kuasa antara pelaku dan korban.

 

Misalnya, seorang mahasiswi diancam tidak akan diluluskan oleh dosennya apabila menolak melakukan persetubuhan dengannya atau seorang wanita yang diancam akan disebarkan aibnya apabila menolak untuk bersetubuh dengan pelaku. Bentuk- bentuk ancaman seperti itu tidak terkait dengan penggunaan kekerasan fisik, namun tetap memiliki dampak psikologis yang besar pada diri korban sehingga korban merasa tertekan dan akhirnya terpaksa bersetubuh dengan pelaku.

Tags:

Berita Terkait