Bahaya bagi Demokrasi di Balik Diksi Antargolongan dalam UU ITE
Kolom

Bahaya bagi Demokrasi di Balik Diksi Antargolongan dalam UU ITE

Adanya ketidakpastian hukum dan rentan penyalahgunaan oleh pihak yang dominan membuat istilah antargolongan seperti senjata untuk memukul dan membungkan entitas yang dianggap membahayakan pihak dominan.

Bacaan 5 Menit
Catur Alfath Satriya. Foto: Istimewa
Catur Alfath Satriya. Foto: Istimewa

Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Transformasi kehidupan bangsa yang sebelumnya bercorak otoritarian menjadi demokrasi harus diakomodasi oleh pemerintah melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang menjamin hak asasi manusia.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menurut masyarakat dapat mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia. Salah satunya adalah Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan UU ITE). Padahal, secara normatif tujuan dilahirkannya UU ITE adalah untuk mengoptimalisas pembangunan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Kenyataannya penerapan UU ITE ternyata menimbulkan masalah terutama dalam hak kebebasan berpendapat. Penulis akan membahas mengenai interpretasi diksi “antargolongan” di dalam Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang bisa menimbulkan masalah dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum.

Baca juga:

Dinamika Diksi “Antargolongan”

Secara historis penggolongan masyarakat di Indonesia pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di masa Indonesia masih bernama Hindia-Belanda. Adanya pemisahan golongan di Indonesia pertama kali dilakukan berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) yang membagi penduduk Hindia-Belanda menjadi 3 golongan: golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera.

Pasal 163 IS menjelaskan tentang golongan penduduk di Hindia-Belanda sebagai berikut:

  • Golongan Eropa yang meliputi seluruh orang Eropa, seluruh orang Jepang, dan seluruh orang yang di negaranya menundukan diri pada asas-asas hukum dan hukum Belanda
  • Golongan Timur Asing yang meliputi seluruh orang Tionghoa, Arab, dan India
  • Golongan Bumiputera yang meliputi seluruh orang yang termasuk rakyat asli Hindia-Belanda dan tidak pernah berpindah ke dalam golongan penduduk lain, golongan penduduk lain yang meleburkan diri dan mengikuti kehidupan sehari-hari golongan Bumiputera, atau golongan penduduk lain yang meninggalkan hukumnya atau karena perkawinan.

Adanya perbedaan berdasarkan golongan memberikan konsekuensi logis bagaimana penerapan hukum terhadap masing-masing golongan tersebut sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 131 IS sebagai berikut:

Tags:

Berita Terkait