​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat

Bahasa hukum sudah mendapat perhatian kalangan ahli bahasa dan ahli hukum sejak 1970-an. Lambat laun makin hilang?

Muhammad Yasin/RFQ/NEE
Bacaan 2 Menit

 

Mengubah bahasa hukum yang sudah lazim dipakai aparat penegak hukum Indonesia memang tidak mudah. Sebut misalnya penggunaan kata ‘bahwa’ dalam setiap putusan hakim. Dilihat dari tata cara penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar, mengawali kalimat dengan kata ‘bahwa’ dianggap kurang pas. Hal yang sama terjadi pada profesi notaris, yang mempunyai bahasa tersendiri, warisan dari notaris era Hindia Belanda. Model bahasa untuk bidang tertentu inilah yang lazim disebut laras bahasa.

 

Baca juga:

 

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pernah melakukan evaluasi terhadap bahasa hukum setelah 25 tahun Simposium Bahasa dan Hukum di Medan-Parapat. Seminar Hukum Nasional II di Surabaya (1974) juga telah menegaskan bahwa keadaan dan pemakaian bahasa Indonesia di bidang hukum belum dapat menunjukkan ‘kemantapan’. Analisis dan evaluasi oleh BPHN tersebut dalam rangka meningkatkan ‘kemantapan’ bahasa Indonesia hukum. Ada tiga kesimpulan dari analisis dan evaluasi itu.

 

Pertama, upaya pembinaan bahasa hukum yang telah dimulai dari Simposium Medan-Parapat perlu terus dilakukan karena tidak terpisahkan dari pembangunan hukum. Kedua, penggunaan bahasa hukum yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia baku belum tampak pada sebagian produk hukum yang baik dalam bahasa perundang-undangan, dalam praktek hukum (bahasa notaris dan putusan pengadilan), serta penulisan ilmu hukum dan pendidikan hukum. Ketiga, kesalahan umum yang muncul pada tulisan-tulisan produk hukum adalah karena penulis tidak memperhatikan penulisan kata sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan penggunaan tanda baca.

 

Hampir 25 tahun setelah analisis dan evaluasi BPHN itu, Lilis melihat masih ada yang miss dalam penggunaan bahasa hukum. Memang, ada perkembangan menarik dalam hal penggunaan bahasa Indonesia untuk istilah-istilah hukum meskipun istilah berbahasa Belanda masih banyak dipakai. Kini, istilah berbahasa Inggris pun semakin banyak diadopsi ke dalam bahasa hukum di Indonesia. “Pembenaran bahasa hukum itu karena bahasa Indonesia tidak terlalu kaya (istilah hukum),” ujarnya.

 

Bahasa hukum perundang-undangan

Kongres Bahasa Indonesia X yang berlangsung pada Oktober 2018 menghasilkan puluhan rekomendasi. Salah satu yang relevan adalah permintaan peserta kongres agar ketentuan tentang bahasa dalam UU No. 24 Tahun 2009 ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Kongres ini tidak lagi secara spesifik menggaungkan bahasa hukum. “Perlu ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar Pasal 36 dan Pasal 38 UU No. 24 Tahun 2009 sehubungan dengan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia untuk nama dan media informasi yang merupakan pelayanan umum,” demikian salah satu poin rekomendasi.

 

Meskipun demikian, Pemerintah dan DPR sudah membuat panduan penggunaan bahasa Indonesia dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk pilihan kata. Bahasa dalam peraturan perundang-undangan tetap tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik aturan pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait