Bahasa Hukum: ‘Klausula Baku’, Klausula yang Mengganggu
Fokus

Bahasa Hukum: ‘Klausula Baku’, Klausula yang Mengganggu

Pencantuman klausula baku dapat mengganggu hubungan konsumen dan produsen. Sudah banyak kasus sengketa yang terjadi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Az. Nasution, pakar yang banyak mengembangkan hukum perlindungan konsumen, menyebutkan perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi atau perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan atau penghapusan tanggung jawab. Dengan perjanjian ini, kata Nasution (2014: 114) diinginkan salah satu dari para pihak dibatasi atau dibebaskan dari suatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang mungkin diberikan oleh peraturan perundang-undangan dihapus terhadap penyusun perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi tersebut.

 

Mengutip RHJ Engels (1978), Nasution tiga bentuk yuridis perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi. Pertama, tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian. Kedua, kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan, misalnya perjanjian keadaan darurat. Ketiga, kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab pihak yang lain  yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.

 

P. Lindawaty Sewu, dalam disertasinya ‘Aspek Hukum Perjanjian Baku dan Posisi Berimbang Para Pihak dalam Perjanjian Waralaba’ menyatakan bahwa perjanjian baku tidak dapat  dikatakan sama dengan  syarat-syarat standar. Tetapi dalam perjanjian baku biasanya ada syarat-syarat standar.

 

KUH Perdata tidak memberikan definisi klausula baku. Dalam perundang-undangan lain, klausula baku diartikan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen (Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen).

 

Kasus dan putusan

Berkaitan dengan klausula baku, satu hal yang penting diingat adalah tidak semua klausula baku dilarang. Dalam konteks Indonesia, hanya apa yang diatur dalam pasal 18 UU Perlindungan Konsumen yang tegas-tegas dilarang. Memang, ada kontekstualisasi seperti yang diatur dalam kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tetapi dalam praktik sudah pernah muncul beberapa kasus dan putusan pengadilan mengenai pengadilan.

 

(Baca juga: Pelaku Usaha Diminta Berhati-Hati, Pengadilan Dapat Membatalkan Klausula Baku)

 

Salah satu yang terkenal adalah kasus klausula baku dalam karcis parkir. Kasusnya berangkat dari kehilangan kendaraan di lokasi parkir, dan berujung pada sengketa di pengadilan. David ML Tobing adalah pengacara pemilik mobil menggugat pengelola lahan parkir. Hingga putusan berkekuatan hukum tetap, majelis hakim memenangkan klien David. Hakim menghukum pengelola parkir, dan menepis klausula baku yang dijadikan alasan oleh tergugat untuk mengalihkan tanggung jawab. Dalam kasus Anny R Gultom vs Secure Parking ini Mahkamah Agung menyatakan pada hakekatnya klausula karcis parkir merupakan perjanjian yang kesepakatanya cacat hukum karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausula. Manakala pengendara masuk ke lokasi parkir, tidak ada pilihan baginya untuk memilih lokasi lain untuk parkir (putusan MA No. 1264 K/Pdt/2003).

 

Masih berkaitan dengan tiket, pengadilan pernah memutus dan memenangkan konsumen atas perkara klausula baku dalam tiket penerbangan. Perjanjian batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika memuat klausula baku pengalihan tangggung jawab. Hal yang sama diputuskan dalam putusan No. 1391 K/Pdt/2011, dimana perusahaan penerbangan membatalkan penerbangan penggugat tanpa alasan yang dapat diterima. Ada banyak putusan pengadilan di Indonesia yang pada intinya menyatakan pencantuman klausula baku bertentangan dengan hukum dan dinyatakan melanggar hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait