Babak Baru Polemik UU Kepailitan dan PKPU
Kolom

Babak Baru Polemik UU Kepailitan dan PKPU

Terdapat potensi perbedaan pemahaman dalam pelaksanaannya, khususnya terhadap Pasal 293 ayat (1) pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

Bacaan 5 Menit
Babak Baru Polemik UU Kepailitan dan PKPU
Hukumonline

Masih segar dalam ingatan kita berita tentang pemberlakuan Moratorium (penundaan sementara) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKepailitan dan PKPU) yang menimbulkan banyak pandangan yang sifatnya pro dan kontra. Baik dari kalangan pengusaha, praktisi hukum, pemerintahan, politisi, akademisi hingga asosiasi.

Namun dalam setiap fenomena selalu ada sisi baik yang dapat kita ambil. Setidak-tidaknya, pemberlakuan UU Kepailitan dan PKPU cukup tersosialisasikan dengan baik di tengah masyarakat. Terlebih bagi para pelaku usaha yang dapat menggunakan instrumen UU Kepailitan dan PKPU sebagai salah satu solusi penyelamatan perusahaan, khususnya untuk permasalahan hutang piutang yang tengah dihadapi.

Selepas pembahasan tentang Moratorium, maka kita masuk dalam suatu babak baru polemik UUKPKPU pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konsitusi No. 23/PUU-XIX/2021 tertanggal 15 Desember 2021. Melalui pembahasan ini, penulis mencoba menguraikan dari sisi praktis pelaksanaan sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 23

Dapat kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi dalam register Perkara No. 23/PUU-XIX/2021 telah menjatuhkan putusan pada tanggal 15 Desember 2021 (selanjutnya Putusan MK No. 23) yang amar putusannya sebagaimana di bawah ini:

  1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
  2. Menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor”;
  3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimanamestinya;
  4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dari Putusan ini, dapat kita ambil kesimpulan bahwa produk keputusan dari Majelis Hakim di dalam suatu proses PKPU dapat diajukan upaya hukum Kasasi sepanjang hal tersebut:

(i) Permohonan PKPU diajukan oleh kreditor; dan

(ii) Tawaran atau rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak.

Permohonan yang diajukan oleh PT Sarana Yeoman Sembada ini menitikberatkan pada pembatalan dan/atau koreksi terhadap ketentuan dalam Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1). Namun, sebagaimana isi Putusan MK No. 23, Majelis Hakim hanya mengabulkan sebagian dan menolak untuk membatalkan dan/atau mengoreksi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (1).

Terlepas dari substansi isi Putusan yang telah banyak diulas, Penulis akan mencoba melihat dari sudut pandang praktis pelaksanaan pasca putusan MK yang uraiannya sebagai berikut.

Koreksi Ketentuan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) sudah tepat?

Putusan MK No. 23 yang pada intinya mengabulkan sebagian permohonan pemohon khususnya berkenaan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1) dan 293 (1) UU Kepailitan dan PKPU, maka menarik untuk kami mengulas lebih dalam dari segi praktis mengenai dampak dari putusan tersebut.

Untuk diketahui, isi dari Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU adalah sebagai berikut:

Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU: “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.”

Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU: “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”

Meskipun secara umum isi dari kedua pasal tersebut sama, yakni adanya pembatasan bagi pihak Debitur untuk mengajukan upaya hukum, namun secara substansi kedua pasal tersebut memiliki karakteristik dan akibat hukum yang berbeda satu dengan lainnya.

Jika kita melihat suatu proses PKPU secara keseluruhan dengan menggunakan pendekatan waktu (ref. maks. 20 + 270 hari), maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU adalah ketentuan yang berlaku untuk produk putusan sebelum proses PKPU (maks. 20 hari).

Sedangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 293 ayat (1) adalah produk putusan setelah dilaluinya proses PKPU (maks. 270 hari), yang mana hal ini jelas memiliki kandungan arti dan makna yang berbeda.

Penulis sepakat dengan pengujian ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1) yang memperbolehkan adanya upaya hukum Kasasi oleh debitur atas putusan PKPU, di mana hal ini memberikan kesetaraan dan jaminan hukum yang sama bagi Debitur di dalam suatu proses peradilan.

Namun jika kita melihat lebih dalam dari sisi praktis perihal diperbolehkannya upaya hukum Kasasi oleh Debitur dalam hal perdamaian tidak diterima [ref. Pasal 293 ayat (1) pasca putusan MK], maka pertanyaan hukum selanjutnya adalah “apakah seluruh proposal perdamaian yang diajukan oleh Debitur harus diterima oleh Kreditur?

Berangkat dari kesetaraan hukum dalam suatu proses PKPU, maka perlindungan hukum dalam proses PKPU juga harus mencakup Kreditur baik secured atau unsecured. Hal ini karena di dalam pelaksanaannya tidak menutup ruang adanya pemanfaatan tidak baik oleh Debitur di dalam proses PKPU khususnya dalam pengajuan penjadwalan utang-utang melalui suatu rencana perdamaian.

Maka dari itu, kita patut mencermati perlunya batasan-batasan apa saja yang diperbolehkan suatu putusan PKPU untuk diajukannya Kasasi oleh Debitur, sebagaimana pelaksanaan Pasal 293 ayat (1) pasca putusan MK. Apakah penolakan rencana perdamaian yang berisikan: (i) Grace period selama 10 tahun; (ii) Mencicil hutang hingga tahun ke 20; (iii) Memotong hutang pokok; (iv) Mengkonversi hutang menjadi obligasi tanpa kupon dengan jatuh tempo 25 tahun; atau (v) Lain-lainnya; termasuk dalam klasifikasi upaya hukum Kasasi yang diperbolehkan oleh Debitur?

Dan yang menjadi pertanyaan selanjutnya dari sisi hukum acara adalah dalam hal upaya hukum Kasasi dilakukan oleh Debitur sebagaimana Pasal 293 ayat (1), maka siapa yang berkedudukan sebagai Termohon kasasi-nya? Dan dalam hal dikabulkannya upaya hukum Kasasi, bagaimana status hukum Debitur? Apakah Debitur masuk kembali dalam proses PKPU atau seluruh proses PKPU-nya dibatalkan seolah-oleh tidak ada suatu proses PKPU?

Dari uraian di atas, Penulis melihat adanya potensi perbedaan pemahaman di dalam suatu pelaksanaannya, khususnya terhadap Pasal 293 ayat (1) pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Dan oleh karena itu, maka menjadi penting untuk kita mencermati lebih dalam pengejawantahan dari pelaksanaan teknis oleh Mahkamah Agung dalam peraturan yang akan dikeluarkannya kemudian.

Apa setelah ini?

Penulis berpendapat secara pribadi bahwa pasca putusan MK yang mengoreksi isi dari Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU setidak-tidaknya akan mengurangi jumlah permohonan PKPU oleh Kreditur pada Pengadilan Niaga dengan alasan dan pertimbangan yang sifatnya subjektif.

Selain itu, jika kita melihat dan mencermati keseluruhan pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 23, maka dapat kita ambil satu problematika penerapan hukum selanjutnya, yaitu kewenangan Kreditur dalam mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Majelis Mahkamah Konstitusi melihat adanya ketidakselarasan di antara tujuan dari PKPU dengan kewenangan Kreditur untuk mengajukan PKPU, yang tentunya merupakan kajian hukum yang menarik untuk kita amati selanjutnya.

*)Rizky Dwinanto, S.H., M.H., M.M., adalah seorang advokat.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait