Aspek Legal dan Pajak atas Perusahaan Digital Ekonomi
Berita

Aspek Legal dan Pajak atas Perusahaan Digital Ekonomi

Bagaimana kesiapan negara membangun aturan hukum yang melindungi aktivitas bisnis di era digital ekonomi?

CT-CAT
Bacaan 2 Menit
 Aspek Legal dan Pajak atas Perusahaan Digital Ekonomi
Hukumonline

Digital ekonomi—atau aktivitas ekonomi dan bisnis yang berbasis teknologi—mengubah pola pikir masyarakat menjadi modern (beyond modern/post-modern). Tidak terkecuali, dalam aspek ekonomi. Salah satu contohnya, dapat terlihat dari perkembangan transaksi digital ekonomi. Kini, kita dapat dengan mudah menemukan perusahaan-perusahaan baru yang mulai ‘pindah’ ke format bisnis elektronik. Pertanyaannya: bagaimana kesiapan negara membangun aturan hukum yang melindungi aktivitas bisnis di era ini?

 

Setidaknya, sebuah perusahaan digital ekonomi haruslah memuat dasar-dasar seperti internet, e-business, e-commerce, daninfrastruktur teknologi. Dengan kata lain, ini juga meliputi usaha yang dilakukan melalui jaringan komputer, transaksi perdagangan online, dan harus mengantisipasi potensi cybercrime.

 

Dari aspek hukum, sebenarnya transaksi perdagangan atau jual beli sebagai bentuk perjanjian sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni Buku III tentang Perikatan; UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian; UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan; dan UU Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM. Pada tahun 2008 sendiri, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 yang saat ini telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU tersebut, dilakukan perluasan penafsiran terhadap norma-norma yang berkaitan dengan ekonomi digital khususnya e-commerce yang tetap mengacu pada aturan keperdataan konvensional dalam KUHPdt.

 

Melihat kebutuhan payung hukum atas perusahaan digital ekonomi, apakah pemerintah perlu untuk membuat UU Digital Ekonomi? Atau apakah pemerintah perlu menunjuk dan memberi kewenangan kepada suatu kementerian dan/atau lembaga terkait yang ada?

 

Dalam PPL, narasumber dan Dewan Pakar Ikatan Kuasa Hukum & Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI), T. Mangaranap Sirait menyatakan bahwa payung hukum atas perusahaan digital ekonomi sudah cukup melalui UU dan bisa ditambah aturan pelaksana melalui kementerian dan/atau lembaga. “Oleh karena itu, politik hukum pemerintah harus jelas tentang digital ekonomi ini. Harus benar-benar sesuai dengan konstitusi yang menjamin kebijakan digital ekonomi, membela kepentingan perilaku digital ekonomi dalam negeri sebagai tuan rumah, dan membatasi pelaku digital ekonomi,” ungkapnya.

 

Presiden IKHAPI, Joyada Siallagan mengatakan, dari aspek perpajakan, transaksi perusahaan digital maupun offline akan terkena objek PPh dan PPN. Khusus untuk PPh, ada hal krusial yang harus diperhatikan, yakni transaksi digital company dari luar negeri. Adapun cara dan prosedur pajaknya harus dipahami lebih dulu, yaitu melalui terminologi ‘Significance Economic Presence’. Ini artinya, secara teknologi dan digital ekonomi, company-nya hadir dan ada transaksi income yang terjadi. Namun, fisik perusahaannya tidak hadir.

 

IKHAPI sendiri telah mengkaji beleid PP No. 80 Tahun 2009 terbaru terkait perdagangan melalui sistem elektronik. Meski bertujuan memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha, masih ada ketimpangan antara perusahaan offline dan online dalam beleid, pun tumpang tindih dan disharmonisasi aturan.

Tags:

Berita Terkait