Apakah Profesi Mulia ini Dapat Dinamakan sebagai Officium Nobile?
Kolom

Apakah Profesi Mulia ini Dapat Dinamakan sebagai Officium Nobile?

Advokat memang profesi yang mulia namun keberadaan seorang advokat tidak seharusnya diistimewakan, karena advokat sudah sewajarnya dan sepatutnya juga tunduk kepada hukum yang berlaku.

Bacaan 5 Menit

Masalahnya saat ini, problem terbesar yang dihadapi oleh profesi advokat adalah ketidakjujuran itu sendiri. Sehingga diperlukan integritas dan moralitas dari para advokat untuk menjadi seorang advokat yang independen dalam arti bebas dari campur tangan pihak-pihak lain. Adanya independensi sangat penting karena mendorong advokat menjalankan tugasnya tanpa sikap ragu-ragu dalam membela semua kepentingan kliennya. sehingga diharapkan Anda sekalian dapat menjadi advokat yang menjunjung tinggi moralitas dalam menjalankan profesinya sebagaimana kedudukan profesi advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).

Perilaku para pengemban profesi hukum (advokat) seharusnya selalu konsisten dan memperhatikan nilai-nilai moralitas umum (common morality as the minimum morality) yang menjadi faktor penentu apakah profesi hukum dapat senantiasa mempertahankan citranya sebagai profesi terhormat. Mengingat pada kenyataannya para advokat dalam menjalankan profesinya terkadang melupakan untuk bersikap mempertahankan keadilan dan kebenaran yang dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia sesuai yang tertera dalam Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia.

Demikian tulisan ini dibuat agar etika profesi advokat mendapatkan perhatian dari organisasi advokat, oleh masyarakat dan para wakil rakyat di DPR dan para akademisi dan cendekiawan di Indonesia. Karena perilaku para advokat ini juga menjadi cermin bagi budaya hukum kita secara umum, profesi advokat ini bukan semata-mata untuk mencari nafkah namun di dalamnya terdapat idealisme (seperti nilai keadilan dan kebenaran) dan moralitas yang sangat dijunjung tinggi.

Advokat memang profesi yang mulia namun keberadaan seorang advokat tidak seharusnya diistimewakan, karena advokat sudah sewajarnya dan sepatutnya juga tunduk kepada hukum yang berlaku. Sebagaimana disampaikan oleh Lord Macmillan seorang Lord Advocate – General di Skotlandia dan Penasehat House of Lords bahwa seorang advokat dalam menjalankan tugasnya harus disertai dengan tanggung jawab kepada negara, masyarakat, pengadilan, klien dan pihak lainnya, atau yang dikutip sebagai berikut:

“ in the discharge of his office the advocate has a duty to his client, a duty to his opponent, a duty to the court, a duty to himself, and a duty to the state.”

Menjadi suatu tantangan yang besar bagi para advokat saat ini, untuk tetap mempertahankan label atau gelar “Officium Nobile” karena pengawasan yang paling berat adalah pengawasan dari diri sendiri yang merujuk kepada moralitas dari seorang advokat. Kini, masyarakat sudah bisa mengakses kode etik sehingga bisa menjadi pengawas bagi para advokat dalam melaksanakan tugasnya sebagai seseorang yang berprofesi mulia.

Apakah advokat tersebut telah berbuat sesuai dengan kebenaran dan keadilan? Apakah advokat tersebut telah mempertahankan moralitasnya sebagai seorang advokat yang mulia dan jujur? Hal-hal ini perlu kita renungkan dengan pengawasan dari masyarakat secara penuh akan masih pantas atau tidak seorang advokat disebut sebagai seorang yang berprofesi mulia dan bermoral. Semoga organisasi-organisasi advokat dapat membentuk suatu kode etik profesi advokat bersama dan juga menegakkan etika profesi ini dengan baik untuk mewujudkan suatu “law abiding society”.

*)Prof. Dr. Frans H. Winarta adalah seorang praktisi hukum dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait