Apa Kabar Great Garuda alias Giant Sea Wall Jakarta?
Kolom

Apa Kabar Great Garuda alias Giant Sea Wall Jakarta?

Tujuan asli proyek ini harusnya melindungi pesisir dari dampak pemanasan global.

Bacaan 5 Menit

Aroma semerbak akal bulus memang sudah lama tercium. Naiknya permukaan air laut sekadar dijadikan dalih untuk mengembangkan kawasan elit perkotaan baru. Rencana ini bahkan sudah dirintis sejak 1980-an, jauh sebelum Presiden Soeharto mengeluarkan serangkaian keputusan untuk mereklamasi kawasan pesisir Jakarta dan Tangerang pada 1995. Tentu saja, aspek-aspek ekologis apalagi sosial-budaya tidak pernah menjadi pertimbangan rencana ini.

Padahal, tanpa adanya kenaikan permukaan air laut dan penurunan tanah pun, lingkungan pesisir Jakarta dan utara Jawa pada umumnya sudah babak-belur. Itu disebabkan Orde Baru menggalakkan pembangunan ekonomi berorientasi pertumbuhan. Ekosistem besar Teluk Jakarta (greater Jakarta Bay ecosystem) merupakan salah satu yang paling menderita.

Ekosistem besar berupa dataran banjir (flood plain) ini membentang luas. Mulai dari daerah tangkapan air (catchment areas) di kompleks Salak-Gede-Pangrango di selatan, dibatasi oleh sungai-sungai Citarum di timur dan Cisadane di barat, lalu sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya mengalir di tengah, hingga bermuara ke Teluk Jakarta sampai Kepulauan Seribu di Laut Jawa.

Ketika kondisinya masih baik, Teluk Jakarta merupakan suatu kompleks ekosistem pesisir seluas lebih dari 7500 km2 yang permai dan makmur. Hutan mangrove seluas 420 km2 melindungi dataran banjir dari abrasi oleh laut dari teluk, sekaligus menyaring endapan lumpur sungai (aluvial) dari daratan.

Sungai Cisadane—yang sedikit endapannya dibanding Ciliwung dan Citarum—mengakibatkan gugusan terumbu karang Kepulauan Seribu terbentuk memanjang ke arah barat laut sampai di utara Tangerang. Di antara mangrove dan terumbu karang terdapat padang lamun atau rumput laut (seagrass bed) yang luas membentang.

Itu semua membuat kawasan perairan Teluk Jakarta kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan. Tidak heran jika komunitas-komunitas nelayan dari daerah-daerah lain di Nusantara berkerumun di sana. Uniknya, desa-desa nelayan ini dulu terisolasi dari hiruk-pikuk Jakarta, dibatasi oleh hutan mangrove dan rawa-rawa yang luas.

Pertumbuhan Jakarta yang rakus akhirnya menghabisi hutan dan rawa itu sampai tersisa sekitar 3 km2 saja. Tekanan populasi dan polusi dari hilir perlahan tapi pasti merusak lingkungan Teluk Jakarta. Hidup dan penghidupan mereka yang bergantung padanya, terutama komunitas-komunitas nelayan, pun ikut rusak.

Tags:

Berita Terkait