Antara Kepentingan Rumah Sakit dan Keselamatan Pasien
UU Rumah Sakit

Antara Kepentingan Rumah Sakit dan Keselamatan Pasien

Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia berpendapat substansi RUU Rumah Sakit masih belum mengakomodir kepentingan publik.

Fat/Rzk
Bacaan 2 Menit
Antara Kepentingan Rumah Sakit dan Keselamatan Pasien
Hukumonline

 

Menjawab segala persoalan yang dihadapi rumah sakit, Fadilah memandang keberadaan sebuah undang-undang yang mengatur tentang rumah sakit sangat dibutuhkan. Selama ini, pengaturan rumah sakit hanya di level peraturan menteri kesehatan. Kondisi ini, lanjutnya, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan jaman. Keberadaan undang-undang rumah sakit tidak mungkin ditunda-tunda lagi, tegasnya.

 

Fadilah menyadari pembahasan RUU Rumah Sakit tidaklah mudah karena memerlukan pendekatan multidisipliner serta harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, ia berharap RUU Rumah Sakit tetap memperhatikan prinsip jaminan pelaksanaan HAM, perlindungan pasien, pemberdayaan masyarakat, implementasi hak dan kewajiban masing-masing pihak serta meningkatkan peran serta SDM kesehatan dan organisasi profesi.

 

Pembentukan UU Rumah Sakit, jelas Fadilah, juga diperlukan sebagai perwujudan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menyatakan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

 

Semoga dengan disahkannya RUU ini tujuan penyelenggaraan rumah sakit dapat memberikan sumbangsih nyata dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya, papar Fadilah.

 

Secara normatif, RUU Rumah Sakit memang memuat sejumlah substansi yang dapat memberikan solusi atas masalah sebagaimana dipaparkan Menteri Kesehatan. Soal pembiayaan misalnya, RUU membuka banyak opsi sumber finansial. Mulai dari penerimaan rumah sakit, anggaran dan subsidi pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta sumber lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan perundang-undangan.

 

Sementara, untuk melindungi kepentingan pasien. RUU Rumah Sakit misalnya secara tegas menyatakan rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). RUU Rumah Sakit juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).

 

Organ untuk melindungi keselamatan pasien lengkap karena RUU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien.

 

Pada level yang lebih ‘tinggi', RUU Rumah Sakit juga mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).

 

Tidak pro publik

Dihubungi hukumonline, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia M Nasser berpendapat substansi RUU Rumah Sakit masih belum mengakomodir kepentingan publik. Secara umum, Nasser menangkap paradigma pemerintah dalam RUU ini hanya menempatkan rumah sakit sebagai alat negara dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada warga negaranya. Akibatnya, RUU Rumah Sakit belum mampu menjamin akses publik khususnya masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan.

 

Diakui Nasser, sejumlah substansi RUU seperti pembentukan Badan Pengawas dan penetapan tarif rumah sakit menyiratkan sikap pemerintah yang ingin melindungi kepentingan pasien. Namun, ia ragu apa yang tertulis dalam RUU akan diimplementasikan dengan baik. Kelemahan yang terdapat dalam RUU Rumah Sakit dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh kalangan pemodal untuk mengkomersilkan rumah sakit.

 

Hal ini (kelemahan RUU Rumah Sakit) bisa terjadi karena dua. Pertama, karena DPR kejar setoran. Kedua, pemerintah dalam pembahasan tidak ngotot memperjuangkan kepentingan publik, Nasser menambahkan.

Beberapa waktu lalu, dunia kesehatan nasional diramaikan oleh sebuah kasus yang menyita perhatian publik. Seorang pasien diperkarakan oleh sebuah rumah sakit, baik secara perdata maupun pidana. Pasien itu, Prita Mulya Sari didakwa dan digugat karena dianggap telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional melalui surat elektronik yang beredar di dunia maya. Kasus Prita vs Omni tidak hanya menarik dari aspek cyberlaw, tetapi juga dalam kaitannya dengan hubungan antara rumah sakit dan pasien.

 

Senin (28/9), DPR melalui Rapat Paripurna mengesahkan sebuah RUU yang bisa menjadi solusi atas segala masalah yang terjadi antara rumah sakit dan pasien. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari saat menyampaikan Pendapat Akhir Presiden terhadap RUU Rumah Sakit, mengatakan masyarakat sekarang sangat paham atas hak dan kewajiban yang mereka miliki. Akibatnya, masyarakat pun menuntut mutu pelayanan dan tanggung jawab pemberi pelayanan kesehatan.

 

Kondisi ini membuat semakin kompleksnya permasalahan di rumah sakit, kata Fadilah. Salah satu masalah itu adalah maraknya tuntutan malpraktik pada fasilitas pelayanan kesehatan yang diduga atas kelalaian tenaga kesehatan maupun rumah sakit. Padahal, di luar itu, rumah sakit masing dipusingkan dengan persoalan finansial. Pengelolaan rumah sakit, menurut Fadilah, memerlukan biaya operasional dan investasi yang besar.

Tags: