Aneka Ragam Kamus Hukum: Dari ‘Injilnya’ Hukum Hingga Kamus Multilingual
Potret Kamus Hukum Indonesia

Aneka Ragam Kamus Hukum: Dari ‘Injilnya’ Hukum Hingga Kamus Multilingual

Ada banyak kamus dan  buku istilah hukum yang ditulis untuk kebutuhan akademis dan praktis di Indonesia. Apa saja?

Muhammad Yasin/Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: MYS
Ilustrasi. Foto: MYS

Bertarikh 8 Desember 1972. Empat paragraf kalimat itu ditulis oleh Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. Bagi orang yang berkecimpung di dunia hukum, apalagi akademisi, nama ini sudah tidak asing lagi. Ia pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung (1952-1966). Hasil karyanya terbilang banyak dan beragam bidang hukum. Setelah pensiun sebagai hakim agung, Wirjono menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan Bandung.

 

Paragraf pertama tulisan Prof. Wirjono menyinggung kenyataan bahwa di Indonesia masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman kolonial Belanda dan masih berlaku hingga sekarang. Mungkin sudah ditambal di sana sini sesuai kebutuhan. Di paragraf kedua ia menyebut teks orisinil peraturan perundang-undangan itu adalah dalam bahasa Belanda, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia meskipun tak pernah ada terjemahan resmi. Jika ada keraguan terhadap terjemahan itu, maka aparat penegak hukum harus mengecek ke teks aslinya dalam bahasa Belanda.

 

Paragraf ketiga, ia memuji upaya penerjemahan istilah-istilah hukum Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Terakhir, paragraf keempat, Wirjono, mungkin saja ada orang yang keberatan atas terjemahan kata atau istilah tertentu. Keempat paragraph ini secara khusus ditulis Wirjono sebagai pendahuluan untuk buku Sekumpulan Istilah-Istilah Hukum dalam Bahasa Belanda yang ditulis Mr. Paulus Moeljadi Dwidjodarmo, seorang dosen sekaligus praktisi hukum. Edisi perdana buku Mr Paulus itu diterbitkan pada 1973.

 

Penulisan istilah dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia adalah salah satu ciri awal penulisan kamus hukum di Indonesia. Dalam konteks tulisan ini, sengaja dimasukkan buku istilah-istilah hukum sebagai kamus. Selain itu adalah lagi bentuk thesaurus hukum dan enksiklopedia hukum.

 

Para penyusun mendefinisikan istilah hukum yang lazim dipakai dalam bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Warga Indonesia yang lahir sekitar 1930-an, dan mempergunakan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari, mungkin tidak ada hambatan menghadapi istilah hukum tertentu. Demikian pula yang mengenyam pendidikan hukum pada dekade 1940-an dan 1950-an. Tetapi mereka yang lahir dan besar setelahnya, pemahaman terhadap istilah-istilah hukum berbahasa Belanda makin berkurang. Dalam konteks inilah, karya Mr Paulus dan de schrijver (penulis) lain dapat dipahami.

 

Sekadar menyebut contoh adalah Pembahasan Hukum: Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia yang ditulis Imam Radjo Mulano alias Martias; dan buku Pengenalan tentang Hukum dan Istilah-Istilah Hukum (Kennismaking met recht en rechtstermen) karya dosen Fakultas Hukum USU Medan, Basrah Amershah. Pada tahun 1958, pernah diterbitkan Kamus Istilah Hukum Asing-Indonesia oleh Dinas Penerbitan Balai Pustaka Jakarta.

 

Tetapi pola pengenalan istilah Belanda-Indonesia ini tidak bersifat mutlak. Penelusuran hukumonline justru menemukan sebuah kamus hukum yang dimulai dari bahasa Indonesia, lalu dicari padanannya dalam bahasa Perancis dan Belanda. Yang dimaksud adalah karya Labberton van Hinloopen: Dictionaire de Termes de Droit Coutumier Indonesien (1934).

 

Baca juga:

 

Generasi pertama orang-orang berpendidikan hukum bukan hanya mendapatkan bahasa Belanda, tetapi juga bahasa Latin. Hingga kini pun masih ada beberapa istilah hukum di Indonesia yang jika ditelusuri berasal dari bahasa Latin, contohnya adalah kata korupsi yang berasal dari corruption dalam bahasa Latin (artinya: merusak, memerosotkan). Dalam konteks ini, komunitas hukum bisa membaca buku sederhana Istilah Hukum Latin Indonesia yang dialihbahasakan Saleh Adiwinata dari karya Mr HRW Gokkel dan Mr N van der Wal (1971). Buku ini berisi 2388 istilah pilihan dari bahasa Latin. Actio pauliana, misalnya, yang sampai sekarang masih dikenal dalam hukum perdata/kepailitan.

 

Kini, ada lebih dari 40 buku referensi berupa kamus, thesaurus, dan ensiklopedia hukum yang ditulis oleh akademisi dan praktisi Indonesia, atau pernah ditulis oleh orang asing dan kemudian diterjemahkan orang Indonesia karena dianggap penting. Ada kamus yang bersifat umum, ada yang khusus; ada yang lebih menekankan penafsiran istilah Belanda, ada juga yang menitikberatkan pada bahasa Inggris. Lalu, ada yang disusun oleh penulis tertentu ada pula yang disusun oleh perusahaan penerbit. Yang disebut terakhir adalah Kamus Hukum terbitan Citra Umbara Bandung, yang sudah dicetak hingga delapan kali (2016).

 

Hukumonline.com

 

Daftar tersebut belum memasukkan Kamus Hukum dan Yurisprudensi yang ditulis HM Fauzan dan Baharuddin Siagian, buku-buku kamus istilah yang diterbitkan Tim Redaksi Tata Nusa, buku Ensiklopedia Perundang-Undangan yang ditulis Mas Soebagio, dan Sriro’s Desk Referecnce on Indonesian Law yang ditulis Andrew Sriro. Jika dilacak lebih jauh sebenarnya masih bisa ditemukan kamus lain meskipun mendapatkan dokumennya sudah tidak mudah. Misalnya, Kamus Hukum Dagang karya M. Isa Arief, dan Ensiklopedia Hukum karya AW Salayan.

 

Apapun jenisnya, menurut Rocky Marbun, kamus hukum pada dasarnya memuat istilah yang bisa memberikan pemahaman kepada siapapun, mulai dari komunitas hukum hingga masyarakat awam. Sebab, dalam ‘obrolan warung kopi’ pun istilah hukum sudah sering dipergunakan. Bahkan acapkali digunakan untuk konteks yang salah. “Kamus hukum memberikan pencerahan dan pemahaman kepada masyarakat tentang arti dan maksud suatu istilah hukum,” ujarnya kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

 

Dosen Universitas Jayabaya Jakarta ini termasuk akademisi yang menghasilkan kamus hukum. Bersama tiga orang koleganya, Rocky Marbun menyusun Kamus Hukum Lengkap, Mencakup Istilah Hukum dan Perundang-Undangan Terbaru. Meskipun menggunakan kata ‘lengkap, Marbun menyadari bahwa kamus semacam itu harus terus diperbarui mengingat perkembangan hukum demikian cepat sehingga memunculkan istilah-istilah baru.

 

Dari penerbit Sinar Harapan Jakarta, ada dua kamus hukum yang sering dikutip. Ada Kamus Aneka Istilah Hukum karya CST Kansil dan Christina ST Kansil (2000), dan Kamus Hukum Indonesia karya BN Marbun, seorang yang lama bergelut di bidang politik dan pernah menjadi anggota Komnas HAM. Kansil dan Marbun merujuk pada kamus hukum yang terbit terdahulu seperti karya Subekti & Tjitrosudibio, dan Simorangkir dkk.

 

Pada 1950-an, mahasiswa hukum di Belanda dan Indonesia banyak menggunakan Fockema Andreae’s Rechtsgeleerd Handwoordenboek  yang disusun Mr. N.E Algra dan Mr HRW Gokkel. Kamus ini pada waktu itu dianggap sebagai ‘injilnya’ seorang sarjana hukum di Belanda. Mengingat pentingnya kamus ini, ada upaya untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun tidak mudah, akhirnya penerjemahan dilakukan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung (1979-1982), Saleh Adiwinata. Saleh dibantu oleh A. Teloeki dan H. Boerhanoeddin. Setelah diterjemahkan, jadilah buku Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia yang diterbitkan Binacipta, Bandung.

 

(Baca juga: Membuka Jalan Tindakan Hukum Penyidik Polri ke PTUN)

 

Bahasa Inggris Hukum

Ketika interkasi dan pengaruh negara-negara berbahasa Inggris semakin besar ke Indonesia, terutama setelah era 1970-an, diawali dengan masuk investasi asing, maka kebutuhan atas penggunaan istilah-istilah hukum dalam bahasa Inggris semakin terasa. Istilah-istilah hukum berbahasa Inggris semakin sering dipakai dalam pergaulan internasional.

 

Alasan itu pula yang dipakai oleh IPM Ranuhandoko menulis Terminologi Hukum Inggris-Indonesia (cetakan pertama Desember 1996). Kumpulan istilah dalam bahasa Inggris ini sudah dicetak beberapa kali (cetakan keempat, Juni 2006).

 

Menggunakan kata ‘internasional’ dalam judul kamus adalah pilihan penulis untuk menunjukkan istilah-istilah campuran, sebagian diantaranya menggunakan lema bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Barangkali buku ‘Terminologi Hukum Internasional’ karya Wagiman dan Anasthasya Saartje Mandagi (2016), dan Kamus Hukum Internasional dan Indonesia karya Subrata Kubung dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Rujukan lain yang bisa dimasukkan juga ke dalam kategori ini adalah karya dosen Universitas Lambungmangkurat, H. Riduan Syahrani, “Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum” (2009). Buku ini berisi 705 entri istilah hukum Indonesia dan asing.

 

Kamus lain yang secara khusus menghimpun istilah-istilah hukum dalam bahasa Inggris adalah Kamus Hukum Ekonomi Inggris Indonesia yang disusun dalam rangka proyek ELIPS (Economics Law Improved Procurement System). Kamus ini disusun oleh A.F Elly Erawaty, seorang akademisi yang menekuni bidang hukum ekonomi, dan ahli bahasa JS Badudu. Cetakan pertama kamus ini diproduksi pada Februari 1996.

 

Proyek ini bukan hanya melibatkan Elly dan JS Badudu, tetapi juga sebuah tim besar. Direktur Proyeknya adalah Normin S Pakpahan yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV Menko Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, Theodore Parnall (penasehat pengembangan hukum ekonomi dalam proyek Elips), Guburu Besar Universitas Wisconsin Cliff F Thompson, Harold E. Sullivan, dan James L Agee sebagai administrator proyek. Beberapa staf ahli bidang hukum ekonomi juga dilibatkan dalam proyek ini, yakni Peter Mahmud, Soelistiyo, Swasana, dan Sumardji.

 

Ditemui hukumonline di Bandung , 17 Juli lalu, Elly bercerita proyek penulisan kamus itu sebenarnya proyek Elips dengan Prof. CFG Sunaryati Hartono. Tetapi lantaran Kepala BPHN itu sibuk, Elly diminta untuk melaksanakan bersama pakar bahasa JS Badudu. Pimpinan proyek menyetujui. Jadilah penulisan kamus hukum ekonomi itu dilaksanakan sesuai jangka waktu proyek. “Tapi proyeknya tidak keroyokan, dikerjakan sendiri. Tapi Elips memberikan kesempatan untuk melibatkan ahli bahasa,” jelasnya.

 

Perhatian pada aspek hukum ekonomi, tidak hanya terlihat dari proyek Elips tersebut. Pada 2010 lalu terbit pula Kamus Hukum Ekonomi yang secara khusus diperuntukkan bagi mahasiswa hukum konsentrasi hukum bisnis, ditulis oleh Guru Besar FH Undip Sri Rejeki Hartono (wafat 3 Oktober 2018), Paramita Prananingtyas, dan Fahimah.

 

Multilingual

Jika penafsiran istilah-istilah hukum Belanda-Indonesia, atau Inggris Indonesia cenderung bilingual, tidak demikian halnya dengan sejumlah kamus yang bersifat umum. Pada dasarnya kamus yang bersifat umum ini adalah campuran bahasa Belanda, Inggris, Latin, Perancis yang kemudian dicari padanan atau artinya dalam bahasa Indonesia. Kamus multilingual bukan sesuatu yang baru. Lawrence Deems Egbert dan Fernando Morales-Macedo, menulis dalam karya mereka, Multilingual Law Dictionary (1979), bahwa kamus anekabahasa terutama didorong oleh proses persidangan para terdakwa dalam the Nurenberg International Trial of Major Nazi War Criminals. Kadang, penuntut umum, hakim, dan para terdakwa menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Selain itu ada persoalan translasi dan interpretasi yang tidak diperkirakan sebelumnya.

 

Hakim International Court of Justice 1961-1970, Philip C Jessup –namanya dikenal di Indonesia—menulis persoalan multibahasa itu saat membuat kata pengantar untuk buku Egbert dan Morales-Macedo: “Anyone who has participated in an international conference, a negotiation between two or more states, or the proceedings of an international tribunal (whether on the Bench or at the Bar), is aware of the difficulty involved in translation and even more in interpretation. Translation and interpretation are not identical although the most skillful translator seek to interpret the thought of the speaker to the listener. The same is true when it is a matter of rendering a written text into another language”.

 

Yan Pramadya Puspa, penyusun Kamus Hukum Edisi Lengkap, menulis pentingnya penyusunan kamus multibahasa. “Hal ini terasa sekali dengan seringkali diadakannya international conference atau bentuk summit antarbangsa pada dewasa ini. Ilmu hukum yang telah digali oleh para sarjana senior kita menerima warisan ilmu hukum itu pada umumnya dengan bahasa Belanda”. Maka, dalam kamus-kamus umum yang terbit belakangan, pada umumnya berisi beragam bahasa asing yang lazim dipakai dalam dunia hukum.

 

Karya lain yang dapat dijadikan contoh adalah Kamus Hukum (Setiawan Widagdo), Kamus Tata Hukum Indonesia (Padmo Wahjono), Kamus Hukum (JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo), Kamus Hukum Kontemporer  (M. Firdaus Sholihin dan Wiwin Yulianingsih), Kamus Hukum (Sudarsono), Kamus Istilah Hukum Populer (Jonaedi Efendi, Ismu Gunadi dan Fifit Fitri Lutfianingsih); dan Kamus Hukum (Charlie Rudiyat).

 

(Baca juga: Mimpi tentang ‘Kamus Hukum Lengkap’ dari Markas Babinkumnas)

 

Makin Spesifik

Seiring dengan perkembangan bahasa selingkung, yakni bahasa yang dipakai secara spesifik untuk bidang-bidang tertentu, maka kamus hukum pun kian spesifik. Artinya, beberapa penulis sudah menyusun istilah-istilah yang lazim dipakai pada bidang tertentu. Jejaknya juga dapat ditelusuri hingga ke 1955, yakni ketika terbit Kamus Hukum Dagang karya M. Isa Arief (Pustaka Islam, 1955).

 

Salah satunya adalah Kamus Istilah Tata Negara yang ditulis beberapa akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung: Rukmana Amanwinata, Bagir Manan, Kuntara Magnar, Popo Ermaya, dan R. Sumantri M. Kamus istilah ini dibuat dalam rangka proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Tahun 1982/1983, dan diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1985. Ada jjuga Binoto Nadapdap, seorang advokat, yang menulis Kamus Istilah Hukum Agraria, dan Vera Jasini Putri yang menyusun Kamus Hukum Otonomi Daerah.

 

Prof. Andi Hamzah menghasilkan karya sejenis dalam bidang hukum pidana, yakni Terminologi Hukum Pidana (cetakan pertama November 2008), selain buku Kamus Hukum. Hukum pidana salah satu bidang yang sulit karena sumbernya bermacam-macam dan istilahnya juga beragam. Para ahli pidana juga masih sering berbeda dalam penggunaan istilah. Misalnya, mengartikan samenloop atau concursus. Ada yang menggunakan sebutan ‘perbarengan’, tetapi Andi Hamzah lebih memilih istilah ‘gabungan delik’. Istilah doen plegen sering diartikan sebagai ‘menyuruh melakukan’, dan Andi Hamzah memperkenalkan istilah ‘membuat orang lain melakukan’.

 

Untuk memberi contoh lain, ada buku 76 halaman karya J. Guwandi: A Concise Glossary of Medical Law Terms (2007). Terminologi yang disebutkan dalam buku ini pada umumnya adalah yang sering dipakai dalam hukum medik. Istilah proximate cause misalnya dimaknai sebagai suatu peristiwa yang cukup jelas terkait dengan suatu cedera yang menurut hukum menjadi penyebab cedera itu. Di kalangan praktik notaris, ada buku kecil memuat istilah-istilah, Ensiklopedia Hukum, Edisi Akta Autentik, yang ditulis Feronica, Lidwina Maria, dan Sri Hapsari Wijayanti (2018).

 

Sifat kekhasan kamus juga terlihat pada karya seorang pakar hukum penerbangan, K. Martono. Lulusan Air and Space Law McGill University Kanada ini telah menyusun Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan dan dicetak pertama kali pada 2007 lalu. Dalam bukunya, Martono menjelaskan latar belakang penyusunan kamus ini. Antara lain, masih ada perbedaan pendapat mengenai pemakaian istilah-istilah yang digunakan dalam dunia penerbangan seperti kabotat (cabotage), kecelakaan pesawat udara (aircraft accident), kepemilikan pesawat udara (aircraft ownership), falg air carrier, open sky, dan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan pemahaman itu dapat diminimalisasi dengan menghadirkan sebuah kamus hukum yang merujuk pada regulasi, doktrin, dan yurisprudensi, baik nasional maupun internasional.

 

Kini, setelah perkembangan teknologi demikian pesat, anggota komunitas hukum atau warga yang ingin memahami hukum tak lagi terpaku pada pencarian melalui kamus tercetak sebagaimana karya-karya tersebut. Mesin pencari google makin sering digunakan karena lebih efisien. Tinggal klik, muncul informasi yang diminta. Dunia internet juga menyediakan kamus istilah hukum, sehingga memudahkan orang mengaksesnya. Tetapi dari sisi akurasi, kamus hukum tetap dibutuhkan. “Kalau memang ada buku kamus hukum, alangkah lebih bagus,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait