Alat Bukti Elektronik dalam Konteks UU ITE
Kolom

Alat Bukti Elektronik dalam Konteks UU ITE

​​​​​​​Informasi elektronik dapat menjadi alat bukti elektronik apabila telah diverifikasi keaslian, keakuratan, dan keutuhannya melalui audit forensik teknologi informasi.

Bacaan 9 Menit
Rabbenstain Izroiel (kiri)  dan Sudarsono (kanan). Foto: Istimewa
Rabbenstain Izroiel (kiri) dan Sudarsono (kanan). Foto: Istimewa

Technology has changed the way we communicate”, demikian kata H.M. McLuhan, yang menyatakan bahwa pola kehidupan manusia ditentukan oleh perkembangan dan jenis teknologi yang dikuasainya. Teknologi media merupakan inti dari peradaban manusia, yang dalam sejarahnya terbagi menjadi empat periode, yaitu: periode lisan, periode literatur, periode percetakan, dan periode elektronik pada saat ini.

Alvin Toffler menyebut periode elektronik ini sebagai gelombang ketiga (informasi) yang dimulai sejak tahun 1956, di mana sebelumnya adalah gelombang pertama (pertanian) pada tahun 8.000 SM – 1.700 M, dan gelombang kedua (industri) pada tahun 1.700 – 1956 (Nina Winangsih Syam, 2014: 56-60).

Berdasarkan technological determinism dari McLuhan di atas, maka prosedur pemeriksaan perkara perdata/perdata agama pada Peradilan Umum dan Peradilan Agama yang merujuk pada HIR dan Rbg adalah produk dari periode percetakan/industri. HIR (Herzeine Inlandsch Reglement; Staatsblad tahun 1848 Nomor 16) adalah hasil karya President Hooggerechtshof, JHR. Mr. HL. Wichers, yang diberlakukan sejak tanggal 1 Mei 1948 untuk Jawa dan Madura. Adapun Rbg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten; Staatsblad tahun 1927 Nomor 227) disusun oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927).

Demikian juga prosedur pemeriksaan perkara tata usaha negara pada dasarnya adalah mirip dengan pemeriksaan perkara perdata, yang notabene adalah produk periode percetakan/industri (Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada angka 5). Prosedur pemeriksaan perkara dan jenis alat bukti sebagaimana tersebut pada dasarnya telah dapat mengantar hakim mewujudkan keadilan, karena prosedur tersebut telah memenuhi nilai-nilai (prinsip) pokok yang harus terkandung dalam pemeriksaan perkara perdata dan tata usaha negara (Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1983: 1-7).

Meski demikian, kembali pada technological determinism theory dari McLuhan, prosedur pemeriksaan perkara dan jenis alat bukti tersebut adalah produk dari masa/periode percetakan/industri, yang tentu berbeda dengan masa/periode teknologi informasi pada saat ini. Konsep alat bukti tulisan sebagaimana pasal 138, 165 dan 167 HIR akan sulit menjangkau electronic commerce sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Demikian juga, pengertian alat bukti surat sebagaimana Pasal 101 UU Peradilan TUN yang membagi menjadi akta otentik, akta di bawah tangan dan surat lainnya tentu akan sulit menjangkau e-Government yang kini mulai lazim dilakukan dalam administrasi pemerintahan (Pasal 38 UU Nomor 30 Tahun 2014, Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik).

Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, diundangkanlah UU ITE, yang memperluas konsep alat bukti dalam pemeriksaan perkara di pengadilan secara konvensional. Konsiderans Menimbang huruf c UU ITE menyatakan: “bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru".

Penjelasan Umum UU ITE menyatakan: “Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik".

Secara normatif, Pasal 5 ayat (2) UU ITE menyatakan: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”.

Berdasarkan ketentuan ini, di samping alat bukti yang dikenal secara konvensional selama ini, kini dalam transaksi elektronik (baik publik maupun privat), juga dikenal adanya alat bukti elektronik berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya. Sebagai jenis alat bukti baru, tentu masih terdapat perbedaan pendapat atas konsep dan prosedur pemeriksaan alat bukti elektronik. Untuk itu, tulisan ini akan mengulas konsep alat bukti elektronik berdasarkan rezim UU ITE dan prosedur pemeriksaannya.

Konsep Alat Bukti Elektronik

Penalaran hukum untuk menemukan konsep alat bukti elektronik dilakukan melalui penelusuran peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang alat bukti elektronik (statute approach). Selanjutnya, dilakukan identifikasi norma (sebagai proposisi) yang notabene adalah rangkaian konsep, sehingga harus dilakukan kajian atas konsep-konsep yang berkaitan dengan alat bukti elektronik (conceptual approach) (Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005: 42-43). Peraturan perundang-undangan yang mengatur alat bukti elektronik adalah Pasal 5 junctis Pasal 1 angka 1, angka 4, angka 5 UU ITE, sebagai berikut:

Pasal 5 UU ITE:

  1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
  2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
  3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 1 angka 5 UU ITE: “Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik".

Berdasarkan rangkaian pasal tersebut di atas, terbaca bahwa alat bukti elektronik (terdiri atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya) yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Sebaliknya, sebagai a-contrario/mafhum mukhalafah, apabila Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya tersebut tidak dihasilkan melalui Sistem Elektronik, maka alat bukti tersebut tidak dapat secara otomatis dinilai sebagai alat bukti elektronik yang sah.

Sampai pada titik ini terlihat bahwa konsep Sistem Elektronik menempati kedudukan yang sangat penting dalam menentukan apakah suatu informasi atau dokumen dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik atau bukan. Berdasarkan UU ITE, urgensi Sistem Elektronik juga terbaca dari Pasal 7 UU ITE sebagai berikut: “Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.”

Bab IV Bagian Kedua UU ITE telah mengatur tentang Sistem Elektronik, mulai dari jaminan keandalan dan keamanan Sistem Elektronik hingga persyaratan minimun untuk dapat menyelenggarakan suatu Sistem Elektronik. Pengaturan selanjutnya atas Sistem Elektronik adalah Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 20I9 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut PP 71/2019). Salah satu prasyarat untuk dapat dinyatakan sebagai Sistem Elektronik berdasarkan rezim UU ITE adalah pendaftaran Sistem Elektronik pada Kementerian Informasi dan Komunikasi sebagaimana ketentuan

Pasal 6 PP 71/2019, sebagai berikut:

  1. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib melakukan pendaftaran.
  2. Kewajiban melakukan pendaftaran bagi Penyelenggara Sistem Elektronik dilakukan sebelum Sistem Elektronik mulai digunakan oleh Pengguna Sistem Elektronik.
  3. Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri melalui pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pendaftaran Sistem Elektronik dalam rezim UU ITE adalah keniscayaan, karena Sistem Elektronik yang telah didaftarkan pasti telah memenuhi syarat minimum sebagaimana ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU ITE, yaitu sebagai berikut:

  1. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
  2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
  3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
  4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
  5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Dengan meminjam spirit dari Pasal 16 UU ITE ini, maka Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik yang telah didaftarkan adalah sah secara hukum, karena informasi yang tercantum di dalamnya pasti dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam menerangkan suatu keadaan. Dalam konteks penegakan hukum, pendaftaran Sistem Elektronik juga mempermudah aparatur hukum (hakim, jaksa, advokat, pejabat pemerintahan) dan masyarakat untuk menentukan keabsahan suatu informasi elektronik atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah, yaitu dengan melihat pendaftaran sistem elektronik tersebut.

Berdasarkan pembahasan di atas, terbaca bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik secara otomatis menjadi alat bukti elektronik yang sah. Sampai pada titik ini, yang menjadi permasalahan hukum selanjutnya adalah keabsahan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak dihasilkan melalui Sistem Elektronik.

Terhadap hal ini, Pasal 6 UU ITE menyatakan: “Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”

Untuk dapat menentukan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak dihasilkan melalui Sistem Elektronik “dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan” adalah melalui audit forensik teknologi informasi oleh lembaga yang berwenang. Audit forensik teknologi informasi adalah cabang dari ilmu komputer yang menjurus ke bagian forensik, yaitu berkaitan dengan alat bukti hukum yang ditemukan di komputer dan media penyimpanan digital.

Dengan adanya audit forensik teknologi informasi, maka suatu informasi atau dokumen elektronik memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti hukum yang sah. Adapun informasi atau dokumen elektronik yang tidak diperoleh melalui Sistem Elektronik dan tidak dilakukan audit forensik teknologi informasi, maka informasi atau dokumen elektronik tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik yang memiliki kekuatan pembuktian hukum yang sah.

Dapat disimpulkan, alat bukti elektronik berdasarkan rezim UU ITE adalah: (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik; dan (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak dihasilkan oleh Sistem Elektronik namun telah melewati / lolos audit forensik teknologi informasi.

Prosedur Pemeriksaan Alat Bukti Elektronik

Berdasarkan pengertian dan cara memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana pembahasan di atas, jenis alat bukti elektronik dapat dibagi menjadi dua:

  1. alat bukti elektronik yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik

Alat bukti yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik yang telah terdaftar berdasarkan ketentuan UU ITE memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti hukum yang sah. Contoh alat bukti elektronik yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik adalah transaksi elektronik melalui aplikasi Traveloka, Gojek dan sejenisnya dalam lingkup privat; juga berbagai Keputusan/Izin yang diterbitkan oleh Pemerintah melalui aplikasi OSS (https://oss.go.id/portal/), Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (https://ahu.go.id/), dan lain sebagainya dalam lingkup publik.

  1. alat bukti elektronik yang tidak dihasilkan oleh Sistem Elektronik

Alat bukti yang dihasilkan tidak melalui Sistem Elektronik yang terdaftar adalah semua bentuk informasi atau dokumen elektronik tanpa menggunakan Sistem Elektronik. Contohnya adalah informasi atau dokumen yang dihasilkan oleh aplikasi yang tidak terdaftar (seperti aplikasi-aplikasi buatan masyarakat yang belum terdaftar pada Kementerian Komunikasi dan Informasi), ataupun hasil perangkat elektronik tanpa melalui Sistem Elektronik terdaftar (seperti rekaman suara atau video melalui kamera biasa).

Berdasarkan pembagian jenis alat bukti elektronik tersebut, prosedur verifikasi alat bukti elektronik dapat dibedakan menjadi dua:

  1. Verifikasi alat bukti elektronik yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik

Sebagai alat bukti elektronik yang sah sebagaimana dinyatakan dalam UU ITE, verifikasi informasi atau dokumen elektronik yang dihasilkan melalui Sistem Elektronik dilakukan dengan mengkonfirmasi pendaftaran Sistem Elektronik yang menghasilkan informasi atau dokumen elektronik tersebut.

  1. Verifikasi alat bukti elektronik yang tidak dihasilkan oleh Sistem Elektronik

Berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU ITE, alat bukti yang tidak dihasilkan melalui Sistem Elektronik tidak secara otomatis menjadi alat bukti elektronik yang sah. Alat bukti seperti ini dapat menjadi alat bukti elektronik apabila telah diverifikasi keaslian dan keakuratannya melalui audit forensik teknologi informasi. Dengan adanya audit forensik teknologi informasi, maka suatu informasi atau dokumen elektronik memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti hukum yang sah. Adapun informasi atau dokumen elektronik yang tidak diperoleh melalui Sistem Elektronik dan tidak dilakukan audit forensik teknologi informasi, maka informasi atau dokumen elektronik tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik yang memiliki kekuatan pembuktian hukum yang sah.

Penutup

Alat bukti elektronik terdiri atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik merupakan alat bukti yang sah. Sebaliknya, apabila Informasi Elektronik tersebut tidak dihasilkan melalui Sistem Elektronik, maka alat bukti tersebut tidak secara otomatis dapat dinilai sebagai alat bukti elektronik yang sah. Informasi elektronik tersebut dapat menjadi alat bukti elektronik apabila telah diverifikasi keaslian, keakuratan, dan keutuhannya melalui audit forensik teknologi informasi.

*)Sudarsono, Hakim Yustisial pada Ditjen Badilmiltun MA RI, mahasiswa S3 Unair dan matrik STFD, penulis buku Legal Issues Pada Peradilan TUN Pasca Reformasi: Hukum Acara & Peradilan Elektronik dan Rabbenstain Izroiel, Praktisi Bahasa, sedang menyelesaikan kuliah Hukum dan Teknik Kimia di Surabaya, penulis buku Petunjuk Praktis Beracara Di Peradilan TUN: Konvensional dan Elektronik.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait