Situasi pandemi Covid-19 transisi menuju endemi berdampak terhadap penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Terlebih, dinamika di tanah Mekkah berdampak pula terhadap besaran ongkos ibadah haji dan umrah. Sementara UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah perlu menyesuaikan dengan berbagai kondisi yang ada.
Anggota Komisi VIII Bukhori Yusuf, mengatakan Revisi UU 8/2019 sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 dengan nomor urut 8. Alasan UU yang baru saja berlaku 3 tahun itu dikarenakan banyaknya persoalan. Pertama, menyikapi dinamika yang berkembang di Arab Saudi, khususnya.
Negara gurun pasir itu terbilang dinamis. Seperti saat 2020, bila tidak pandemi Covid-10 sudah dicanangkan penyelenggaraan ibadah haji tidak hanya dilihat dari aspek pelayanan semata, tapi pula keenomian. Oleh karena itulah, penyelenggara haji dan umrah di Saudi tidak lagi dikendalikan Menteri Haji dan Umrah.
“Tapi dipegang oleh Menteri Pariwisata, ini penting,” ujarnya dalam diskusi Forum Legislasi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/2/2023).
Baca juga:
- DPR Diminta Tolak Rencana Kenaikan Biaya Haji
- Menyoal Rencana Kenaikan Biaya Haji dan Peran BPKH
- DPD Kritisi Aturan Penyelenggaraan Haji dan Umrah dalam RUU Cipta Kerja
- Disahkan, 12 Hal Terbaru dalam UU Ibadah Haji dan Umrah
Kedua, aspek ekonomi. Bukhori mengatakan, sudut pandang yang digunakan tidak murni sebuah pelayanan ibadah semata. Tapi menjadi penyelenggaraan ibadha haji menjadi sebuah ‘industri’. Pasalnya, saban musim haji berdampak terhadap aspek ekonomi yang amat luar biasa. Setidaknya sepanjang sekali musim haji, dana calon jamaah haji Indonesia mencapai Rp40 triliun selama tiga bulan berputar di tanah Mekkah.
“Makanya ini harus diubah,” imbuhnya.
Paradigma pemerintah Saudi dalam penyelenggaraan haji, menurut Bukhori tak lagi ditangani muassasah atau lembaga sosial. Sebab aspek pertangggungjawaban publiknya tak dapat diukur, dipantau dan tak ada audit publik. Kemudian orientasi pendayagunaannya serta sumber daya manusianya menjadi tidak dapat diukur.