Ahli: Penyelenggaraan Internet Tidak Bisa Dipaksakan Masuk UU Penyiaran
Berita

Ahli: Penyelenggaraan Internet Tidak Bisa Dipaksakan Masuk UU Penyiaran

Oleh karena penyelenggaraan internet dan penyiaran berbeda, dalil para pemohon yang meminta agar Mahkamah menambahkan frasa “penyelenggara internet” dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak seharusnya dikabulkan.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Layanan konten berbasis internet atau lebih dikenal Layanan Over-The-Top (Layanan OTT) tidak mempunyai kejelasan pengaturan kelembagaan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Hal tersebut karena perizinan penyelenggaraan Layanan OTT diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Pandangan itu disampaikan Akademisi Universitas Padjajaran Adrian Rompis yang hadir sebagai Ahli Presiden dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/10/2020) seperti dikutip laman MK. Sidang perkara ini digelar dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dan dilakukan secara virtual. 

“Penyelenggara internet tak mempunyai kejelasan kelembagaan dalam UU Penyiaran dan perizinan yang diatur untuk lembaga internet itu ada dalam UU No. 36 Tahun 1999 yang tidak pernah berada pada klaster yang sama. Dia (internet, red) masuk dalam penyelenggara telekomunikasi untuk kegiatan jasa. Sementara kalau penyiaran itu adalah penyelenggara telekomunikasi khusus,” jelas Adrian yang juga merupakan pakar hukum penyiaran tersebut. (Baca Juga: Ahli: Negara Harus Atur Layanan Konten Penyiaran Berbasis Internent)

Menurut Adrian, kegiatan penyelenggaraan internet mempunyai perbedaan jauh dengan penyelenggaraan penyiaran.  Dalam penyelenggaraan siaran, proses pengawasan konten dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia sebagaimana diatur UU Penyiaran dimulai sejak diajukan permohonan untuk siaran dengan menyertakan konten yang akan disiarkan. Sementara penyelenggara internet hanya menyalurkan konten dari pihak lain.

Oleh karena kedua hal tersebut berbeda, dalil pemohon yang meminta agar Mahkamah menambahkan frasa “penyelenggara internet” dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak seharusnya dikabulkan.

“Penyelenggaraan internet dapat tidak diwajibkan (masuk) dalam ketentuan umum (UU Penyiaran). Penyelenggara di sini adalah yang memberi konten siaran juga atau penyelenggara hanya mengalirkan konten dari pihak lain dan itu tidak mungkin bisa kita sesuaikan dengan istilah dalam UU Penyiaran itu sendiri,” papar Adrian.

Adrian melanjutkan terhadap ketentuan yang diuji para pemohon terdapat tiga frasa yaitu spektrum frekuensi radio, serentak bersamaan, diterima melalui perangkat penerima siaran. Spektrum frekuensi radio, dalam sejarah perkembangannya dapat ditemukan filosofi yang mendasari pengaturan spektrum frekuensi radio yang disebut dengan penerapan asas nasionalitas.

Pada UU No. 36 Tahun 1999, filosofi itu tetap melandasi lahirnya UU tersebut. Namun dalam rangka perkembangan telekomunikasi, UU No. 36/1999 membagi penyelenggaraan komunikasi menjadi tiga yaitu penyelenggaraan jaringan telekomunikasi. penyelenggaraan jasa telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi khusus. 

Dalam Pasal 9 UU No. 36/1999, penyiaran dimasukkan dalam kategori penyelenggara telekomunikasi khusus yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu untuk keperluan sendiri, untuk keperluan pertahanan keamanan negara, untuk keperluan penyiaran. Dalam Peraturan Pemerintah No. 52/2000 disebutkan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran wajib membangun sendiri jaringan sebagai sarana pemancaran dan sarana transmisi untuk keperluan penyiaran. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 53/2000 mengatur izin spektrum frekuensi radio bagi kegiatan penyiaran. 

Dengan demikian, sambung Adrian, penyiaran itu sebenarnya dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang merupakan wakil dari masyarakat. Intinya dalam UU No. 32 Tahun 2002 seharusnya masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan penyiaran. Hal ini sudah dilakukan uji materiil ke MK, yang putusannya menyatakan adanya pembagian kewenangan. 

“Masalah lain saat pembentukan UU No. 32/2002 adalah masalah konglomerasi. Upaya konglomerasi harus dicegah, supaya isi siaran yang sampai ke masyarakat tidak dipengaruhi oleh pemerintah maupun para pemilik modal,” tambahnya.    

Seperti diketahui, para Pemohon No. 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (INews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon I) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon terdiri atas Taufik Akbar dkk. 

Para Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”. 

Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional karena menyebabkan adanya pelakuan yang berbeda (unequal treatment) sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.

Menurut para pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran itu, menyebabkan sampai saat ini penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti Layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran. Padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.

Tags:

Berita Terkait