Achmad Ubbe, Peneliti Hukum di Tim Seleksi KPK
Profil

Achmad Ubbe, Peneliti Hukum di Tim Seleksi KPK

Baginya, penelitian hukum perlu menjadi dasar pembentukan hukum. Undang-Undang yang dibentuk berdasarkan penelitian jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
Achmad Ubbe (kiri), peneliti hukum di Tim seleksi KPK. Foto: SGP
Achmad Ubbe (kiri), peneliti hukum di Tim seleksi KPK. Foto: SGP

Pada saat proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mei lalu, kesibukan Achmad Ubbe bertambah. Sebagai sekretaris panitia, pria kelahiran 5 Juli 1952 itu harus menyiapkan administrasi pendaftaran hingga mempersiapkan segala sesuatu agar proses seleksi berjalan lancar. Ia juga harus memastikan penelitian tentang jejak rekam calon berjalan dengan baik, dan masukan masyarakat sampai ke tangan seluruh anggota panitia seleksi.

 

Meneliti banyak berkas dan dokumen para peserta seleksi tentu bukan pekerjaan mudah. Kerja panitia sangat menentukan apakah calon yang lolos kelak sesuai dengan tujuan pembentukan KPK. Kredibilitas, integritas dan kapabilitas calon menjadi syarat mutlak yang perlu diteliti oleh panitia seleksi, baik berdasarkan masukan masyarakat maupun hasil investigasi sendiri.

 

Urusan mengkaji berkas dan meneliti sejatinya bukan pekerjaan baru bagi Achmad Ubbe. Puluhan tahun bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pria asal Sulawesi Selatan ini bergelut dengan sejumlah penelitian hukum. Tak mengherankan jika ia berperan dalam pendirian Asosiasi Peneliti Hukum Indonesia.

 

Mungkin banyak orang belum mengetahui apa fungsi dari seorang peneliti hukum. Bila dilihat lagi dari fungsinya, peneliti hukum memiliki peran penting dalam pembentukan hukum di Indonesia. Sejak pertama kali menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 1982, Ubbe ditempatkan di BPHN. Peran dan fungsi seorang peneliti hukum menjadi bagian dari tak terpisahkan dalam pembentukan hukum.

 

Porsi penelitian, kata ayah tiga anak ini, harus berada di awal pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian berlanjut ke penyusunan naskah akademis dan pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR atau DPRD. Tahap berikutnya adalah sosialisasi. Jika peraturan sudah rampung dan disetujui, peran seorang peneliti masih berlanjut.

 

Menurut Ubbe, peran peneliti masih diperlukan dengan meneliti kembali aturan yang dibuat dengan tujuan tak benturan dengan aturan yang lain, seperti konstitusi. “Jadi pembentukan hukum itu seperti siklus, mata rantai yang sambung menyambung,” katanya saat ditemui hukumonline di ruang kerjanya, Selasa (5/7).

 

Pria berusia 59 tahun itu menilai, keberadaan peneliti hukum kini terabaikan. Akibatnya banyak UU yang dibuat pemerintah dan dewan diuji materikan oleh segelintir orang. Hal ini dikarenakan kurangnya materi penelitian yang tersentuh saat penyusunan UU itu dilakukan.

 

Ia menilai, UU yang dibuat belakangan ini lebih bersifat politis. Ego kedua pihak yang terlibat baik pemerintah dan dewan masing-masing timbul dalam pembahasan. Ia yakin peran peneliti dalam pembuatan UU bisa mencairkan suasana pembahasan yang selama ini sering deadlock. Seorang peneliti bisa sangat berguna bagi pembentukan hukum apabila mempertanggungjawabkan penelitian melalui kegiatan ilmiah.

 

Suami Ramlah Juraej ini berpendapat seharusnya kita berpikir akademis ketika menyusun suatu peraturan. Data yang dipakai untuk menyusun sebuah aturan dan norma lahir dari sebuah penelitian karena semua orang lebih mudah memahaminya. “Menurut saya, penelitian itu jembatan emas untuk memasukkan kesadaran hukum masyarakat dalam proses selanjutnya, seperti perencanaan dan pembahasan di DPR,” tutur doktor ilmu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

 

Ubbe menegaskan, seorang peneliti hukum harus memiliki kaya referensi dalam memberikan bahan pembuatan UU. Terlebih mengenai nilai-nilai yang sesuai dengan kehendak masyarakat. Dengan dihasilkannya UU yang didasari kebutuhan masyarakat, Ubbe yakin uji materi bisa diminimalisirkan. “Siapapun penelitinya, jika tidak (dilibatkan) proses awal dan akhir, pembentukan Undang-Undang tidak bisa berjalan,” tutur Ubbe yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional ini.

 

Ubbe tak asal bicara soal penelitian. Pria yang gemar mengoleksi keris, badik dan tumbuhan bonsai ini merupakan seorang pendiri Asosiasi Peneliti Hukum Indonesia yang didirikan pada tahun 1997 silam. Asosiasi tersebut anggotanya terdiri dari para peneliti hukum di tiap biro hukum di departemen dan lembaga negara yang ada di Indonesia.

 

Ia mengaku, menjadi peneliti sudah mendarah daging baginya. Meski begitu, ia menilai perlu ada perhatian lebih dari pemerintah kepada para peneliti hukum di Indonesia agar bisa berkarya demi pembentukan hukum yang maksimal. Misalnya, ditingkatkannya lagi honor pejabat fungsional yang bertugas sebagai peneliti hukum. Selama ini honor mereka bisa dibilang masih rendah.

 

Selain masalah keuangan, rekrutmen peneliti juga harus diperhatikan. Kualifikasi seseorang yang ingin menjadi peneliti harus ditingkatkan lagi. Dengan disertai persyaratannya yang ketat, tidak dari strata satu, karena akan lama dididiknya. “Misal S2 atau S3, supaya menemukan peneliti yang bagus,” kata Ubbe yang menjabat sebagai Anggota Dewan Pakar Kepanitiaan Pameran Keris untuk Dunia ini.

 

Selain dua persoalan tersebut, pembinaan pendidikan bagi seorang peneliti juga patut dibenahi. Khususnya mengenai penelitian untuk bahan masukan penyusunan naskah akademik. Selama ini yang terjadi malah sebaliknya. Banyak peneliti yang mengeluh bahwa hasil penelitiannya tidak dibaca dan tidak dijadikan masukan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

 

Agar persoalan tersebut bisa diminimalisirkan, Ubbe menyarankan adanya komunikasi yang intensif antara peneliti dan pembuat undang-undang yang bertugas sebagai pengguna hasil penelitian. Menurutnya, peran BPHN selaku koordinator sangat dibutuhkan demi keberlangsungan hasil penyusunan UU yang efektif dan efisien.

 

Selaku koordinator, BPHN berhak mengkomunikasikan penelitian tersebut ke sejumlah pihak yang punya peran penyusun dan pembahas perundang-undangan, antara lain Kementerian Hukum dan HAM, Badan Legislasi DPR, dan Litbang di masing-masing kementerian atau lembaga negara. Jika peran koordinator berjalan, keluhan bisa diminimalisir. Paling tidak, melalui penelitian, unsur politik pembentukan suatu Undang-Undang bisa dikurangi. Ia yakin Undang-Undang yang lahir dari suatu penelitian lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Tags: