3 Indikator ‘Autocratic Legalism’ dalam Kebijakan Negara
Utama

3 Indikator ‘Autocratic Legalism’ dalam Kebijakan Negara

Tujuannya untuk memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik untuk kelompoknya. Autocratic legalisme ini dianggap lebih berbahaya daripada otoritarianisme seperti masa orde baru karena yang terjadi saat ini dianggap baik-baik saja.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti saat memaparkan bahan webinar bertajuk 'Masa Depan Demokrasi Kita: Membaca Situasi Politik dan Hukum Indonesia', Kamis (29/7/2021).
Dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti saat memaparkan bahan webinar bertajuk 'Masa Depan Demokrasi Kita: Membaca Situasi Politik dan Hukum Indonesia', Kamis (29/7/2021).

Dalam 2 tahun terakhir, kalangan masyarakat sipil kerap menyoroti beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah dan DPR. Misalnya, revisi UU KPK, UU Minerba, dan terbitnya UU Cipta Kerja. Terbitnya, tiga UU itu diwarnai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Terakhir, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.75 Tahun 2021 tentang Statuta UI.  

Dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti memberikan contoh revisi PP Statuta UI yang saat ini Rektor UI bisa merangkap jabatan sebagai komisaris di badan usaha. Padahal, PP Statuta UI sebelumnya melarang rektor merangkap jabatan tersebut. Bivitri melihat fenomena ini ada indikasi autocratic legalism yakni penggunaan serangan yang terencana dan berkesinambungan oleh penguasa pada institusi yang tugasnya justru untuk mengawasi tindakannya, dalam kerangka mandat demokratiknya.

Konsep itu melonggarkan ikatan-ikatan dan batasan konstitusional pada eksekutif melalui reformasi hukum, dimana itu merupakan penanda pertama hadirnya seorang autocratic legalist. “Dia berjalan sesuai hukum (seolah benar, red), tetapi sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum, bahkan ke arah otoritarianisme,” kata Bivitri dalam webinar bertema “Masa Depan Demokrasi Kita: Membaca Situasi Politik dan Hukum Indonesia”, Kamis (29/7/2021). (Baca Juga: Larangan Rektor Rangkap Jabatan untuk Cegah Konflik Kepentingan dan Kebebasan Akademik)

Bivitri mencatat setidaknya ada 3 indikator autocratic legalism. Pertama, pelemahan DPR, ditandai dengan partai politik koalisi yang mendukung pemerintahan sangat kuat. Bahkan, Capres-Cawapres yang sebelumnya menjadi lawan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin malah ditarik menjadi Menteri di kabinetnya.

Untuk mendukung pemerintahan ada juga pembagian jabatan, seperti komisaris BUMN dan Duta Besar. Akibat pelemahan itu, justru DPR yang dikontrol, mudah meloloskan (dan menggagalkan, red) berbagai UU, serta nyaris tidak ada hak angket yang substantif, kecuali soal konflik aktor dan terhadap KPK.

Kedua, pelemahan masyarakat sipil melalui penerapan UU ITE dan penegakannya. Kebebasan akademik di kampus pun dilemahkan melalui “penguasaan” pejabat kampus. Begitu juga daya kritis sebagian kaum intelektual melalui pemberian jabatan dan pekerjaan.

Ketiga, pembunuhan KPK, salah satunya melalui revisi UU KPK di tahun 2019 dan berlanjut sampai sekarang. Masuknya pimpinan KPK tahun 2019 yang dinilai menghancurkan lembaga anti rasuah itu dari dalam. Saat ini, KPK berpotensi menjadi alat penguasa. “Semua dilakukan (seolah, red) dalam koridor hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum,” ujarnya.

Tujuan akhir autocratic legalism, menurut Bivitri untuk memperbesar kekuasaan modal dan politik bagi kelompoknya. Berbagai peraturan dan kebijakan yang diterbitkan, seperti UU Cipta Kerja, dan UU Minerba, serta beragam aturan yang akan diterbitkan nanti dibuat setelah ada pelemahan pada fungsi pengawasan. Dalam konteks sistem politik di Indonesia, pengambil keuntungan tidak hanya kekuasaan eksekutif (pemerintah), tapi juga banyak aktor politik lain dalam berbagai cabang kekuasaan oligarki.

Bivitri berpendapat autocratic legalisme lebih berbahaya daripada otoritarianisme seperti masa orde baru karena yang terjadi saat ini dianggap baik-baik saja. Hukum tidak ditempatkan sebagai perangkat nilai (HAM dan pembatasan kekuasaan, prinsip negara hukum) sebagai kerangka bernegara, tapi sebagai justifikasi kebijakan yang dibuat untuk kepentingan kelompoknya.

Terus berkonsolidasi

Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra, menilai pelemahan KPK menjadi salah satu warisan negatif pemerintahan Jokowi. Begitu juga dengan menyurutnya kebebasan berserikat, berkumpul, dan berekspresi. Dia mengusulkan kepada organisasi masyarakat sipil untuk terus berkonsolidasi dan menggalang kekuatan.

“Masih ada waktu menjelang Pemilu 2024 untuk membenahi persoalan ini lewat pemilu. Karena tidak mungkin menggunakan cara inkonstitusional, yang harus ditempuh yakni proses konstitusional, salah satunya melalui pemilu,” kata dia.

Hukumonline.com

Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra.

Kendati konsolidasi organisasi masyarakat sipil merupakan peluang, tapi Azyumardi mengakui ini tidak mudah karena sebagian kekuatan masyarakat sipil ada yang lumpuh, seperti perguruan tinggi yang saat ini dibelenggu birokratisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya suara kritis dari kampus.

“Saya tidak pesimis terhadap masa depan demokrasi, tapi kita perlu konsolidasi dan penyadaran untuk memperbaiki demokrasi,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait