Menakar Inkonstitusional UU Cipta Kerja Setelah Putusan MK
Pojok MPR-RI

Menakar Inkonstitusional UU Cipta Kerja Setelah Putusan MK

Kewenangan yang dimiliki MK ditujukan untuk uji materil. Bila MK melakukan pengujian formil dan memberi putusan pengabulan pengujian formil, hal demikian bisa menimbulkan persoalan.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Diskusi Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK. Foto: Istimewa.
Diskusi Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK. Foto: Istimewa.

JAKARTA - Apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja sebenarnya merupakan sebuah hal yang bernilai positif. Putusan MK itu banyak yang mengapresiasi, meski akademisi maupun pengamat hukum tata negara menyebut putusan itu merupakan putusan kompromi, jalan tengah bahkan dikatakan bersifat ambiguitas.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua MPR DR. Arsul Sani SH, MSi, dalam Diskusi Empat Pilar MPR  dengan tema ‘Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK’ di Media Center, Gedung Nusantara III, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, 29 November 2021.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menegaskan dirinya berharap apa yang menjadi putusan MK merupakan putusan yang menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan potensi  masalah. Dirinya mengatakan demikian sebab apa yang diputuskan itu mempunyai potensi menimbulkan masalah baru.

Kalau dilihat dari putusan MK terhadap perkara pengujian UU Cipta Kerja, Arsul Sani menyebut apa yang diputuskan oleh lembaga negara itu memutus uji formil. “Putusan MK saat ini pada uji formil”, ungkapnya. Putusan MK memutuskan undang-undang yang ada dengan putusan inskontitusional bersyarat. Dengan putusan ini maka pembentuk undang-undang, yakni Pemerintah dan DPR, harus memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang. “Agar memenuhi syarat-syarat formilnya”, ujarnya.

Dari sinilah maka Arsul Sani mengatakan bahwa yang diuji oleh MK pada undang-undang itu bukan pada isi atau materiilnya. Masalahnya UUD NRI Tahun 1945, MK tidak secara tegas menetapkan bahwa MK memiliki kewenangan uji formil. “Karena itu batu uji MK-pun menggunakan Undang-Undang, yakni UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, tuturnya.

Dari sinilah menurut Arsul Sani potensi masalah dari putusan MK itu bisa terjadi. Dikatakan bila Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah memperbaiki syarat formil maka nanti ada yang tidak puas dengan masalah materiilnya, pastinya selanjutnya akan ada keinginan untuk melakukan uji materiil terhadap UU Cipta Kerja lagi.

Menurut Arsul Sani seharusnya MK dalam memutuskan putusan itu sekaligus, yakni secara formil maupun materiil. “Jangan sendiri-sendiri sehingga kerja yang dilakukan sekali saja, sehingga hal demikian tidak menimbulkan potensi masalah baru," ujarnya.

Menurutnya, menilik Risalah Pembahasan Amandemen UUD,  kewenangan yang diberikan kepada MK sebatas kewenangan uji materiil bukan uji formil. Ketika kita membentuk MK, kewenangan yang dimiliki ditujukan untuk kewenangan uji materil. Bila MK melakukan pengujian formil dan memberi putusan pengabulan pengujian formil, hal demikian, menurut Arsul Sani, bisa menimbulkan persoalan. “Ini pertanyaan secara tertib ketatanegaraan benar atau tidak?”, ujarnya. Meski putusan yang ada saat ini memberi kemanfaatan, memenuhi harapan masyarakat, namun ditegaskan kita harus kritis pada MK. “Meski putusan baik memenuhi harapan publik tetapi dari sistem dan struktur ketetanegaraan agak melenceng,” ungkapnya.

Bila ingin MK memiliki kewenangan uji formil menurut Arsul Sani perlu dilakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait masalah MK.

Anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo SE., MH., dalam kesempatan tersebut  mengatakan apapun yang diputuskan oleh MK harus kita terima. “Ibarat pil meski pahit harus kita telan demi kesehatan,” ungkapnya. Meski demikian apa yang diputuskan oleh MK tidak boleh ditafsirkan macam-macam.

Diakui saat ini adanya kegelisahan dari investor terkait putusan tersebut. Merespon hal yang demikian, Firman Soebagyo mengatakan bahwa undang-undang yang ada masih berlaku sampai adanya perbaikan. “MK tak membatalkan pasal-pasal tetapi hanya perlu penyempurnaan,” tuturnya.

Prof. Dr. Juanda SH., MH., pakar hukum tata negara yang hadir dalam diskusi tersebut menyebut putusan MK putusan yang aneh, bingung, dan tak konsisten dengan prinsip-prinsip negara hukum. “Putusan yang diambil tidak bulat, buktinya ada pendapat berbeda atau dissenting opinion di antara para hakim”, ungkapnya. Kemudian bila diputuskan tak memenuhi syarat formil, Undang-Undang Cipta Kerja seharusnya tidak berlaku.

Tags: