Buah Penantian Panjang PP tentang Rumah Susun
Kolom

Buah Penantian Panjang PP tentang Rumah Susun

Terdapat lima materi muatan dalam PP 13/2021 tentang Rusun yang penting untuk direnungkan dari sebagai buah penantian.

Bacaan 6 Menit
M Ilham Hermawan. Foto: Istimewa
M Ilham Hermawan. Foto: Istimewa

Sejak di undangkan tahun 2011 sampai dengan awal akhir 2020, Peraturan Pemerintah sebagaimana menjadi amanat dari Pasal 118 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) tak kunjung hadir “diundangkan”. Praktis selama 10 tahun peraturan pelaksana dari UU Rusun tersebut masih menjabarkan diri pada peraturan pemerintah yang lama yakni Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (status telah dicabut).

Peraturan pemerintah yang lahir dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun ini jelas dan dapat dipastikan banyak jangkauan pengaturan yang sudah tidak sesuai dengan UU Rusun (2011), bahkan terjadi beberapa potensi kekosongan hukum (recht vacuum). Akhirnya hadir permasalahan hukum di tengah-tengah masyarakat, silang pendapat “multi interpretasi” tidak dapat dihindarkan.

Akhirnya buah penantian panjang hadir di tengah-tengah masyarakat. Undang-Undangan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang mengubah beberapa materi muatan UU Rusun, secara tidak langsung akhirnya mendorong lahirnya PP Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun (PP Rusun). Peraturan pemerintah yang lama pun dicabut, turun PP Rusun sebagai peraturan pelaksana dari UU Rusun dan UU Cipta Kerja, menjadikan PP Rusun ini menjadi peraturan pemerintah yang menarik karena lahir dari dua undang-undang.

Apa yang diatur dalam PP Rusun ini? Subtansi apa yang penting dan menarik untuk dideskripsikan? Apakah penantian panjang sesuai dengan apa yang diharapkan? Pertanyaan tersebut yang menjadi arah dalam tulisan ini, bukan memperdebatkan apa yang menjadi permasalahan hukum sehingga PP Rusun terbit dalam, waktu yang lama. 

Buah Penataan Panjang dari Peraturan Pemerintah

Penantian ini teramatlah panjang... Coba kau rasakan sayang... Letihku di ujung jalan” satu bait lirik dari grup band Armada, kiranya dapat awalan dalam menelisik subtansi PP Rusun. Secara jangkauan pengaturan PP Rusun memiliki 21 bab dan 148 pasal. Banyaknya dan luasnya pengaturan tersebut, merupakan hal yang wajar, mengingat PP ini mengatur penyelenggaraan rumah susun. Maka, tidak semua subtansi dapat diulas dalam tulisan ini, hanya yang dinilai penting yang diulas. Ada dua acuan dalam tulisan ini, yakni: Pertama, merupakan pengaturan yang dinilai fenomenal yang memiliki makna mampu menjangkau kebutuhan dalam praktik. Atau, dapat disebut pula sebagai “landmark”. Kedua, merupakan pengaturan yang memberikan proteksi kepada masyarakat dalam memenuhi hak untuk bertempat tinggal.

Dari dua tolok ukur “penting” tersebut, setidaknya terdapat lima materi muatan yang penting untuk direnungkan dari sebagai buah penantian. Pertama, kewajiban pelaku pembangunan untuk membangun 20% rumah susun umum, ketika membangun rumah susun komersial (Pasal 6 PP Rusun). Kewajiban tersebut dapat dikonversi menjadi sejumlah uang (Pasal 7 ayat (3) PP Rusun). Hal ini berarti pelaku pembangunan memiliki pilihan hukum apakah akan membangun 20% rumah susun umum atau menyerahkan uang yang disebut dana konversi. Dana konversi ini jika ditelusuri lebih jauh dapat berbentuk dana hibah atau dana kelola, dana ini diserahkan kepada satu badan baru yang disebut dengan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3). Pilihan hukum dana konversi ini memang dapat menjadi solusi atas kebuntuan pelaksanaan kewajiban pelaku pembangunan yang terjadi selama ini. Kebuntuan yang diakibatkan keterbatasan dan mahalnya harga tanah.

Kedua, pembangunan secara bertahap. Pelaku pembangunan yang membangun rumah susun umum dan rumah susun komersial yang direncanakan dalam satu kesatuan sistem perencanaan dapat dilakukan secara bertahap (Pasal 14 PP Rusun). Secara sederhana pembangunan bertahap ini dapat diartikan bahwa pelaku pembangunan ketika akan membangun rumah susun umum maupun komersial dan pembangunannya dilakukan pada satu kawasan yang besar, maka pembangunnya tidak dilakukan dalam satu tahap sekaligus, akan dilakukan secara bertahap. Dan, untuk masing-masing tahap ditentukan paling lama tiga tahun yang diperhitungkan dari mulainya perencanaan (Pasal 14 ayat (2) PP Rusun). Ketentuan in menjadi penting, mengingat maraknya pembangunan dalam satu kawasan di kota-kota besar. Bagi konsumen dapat memberikan kepastian yakni dengan dilakukan secara bertahap, maka proses kepemilikannya tidak perlu menunggu bangunan kawasan selesai semua akan tetapi dilakukan per tahapan pembangunan.

Tags:

Berita Terkait