Setelah menggelar pembahasan tingkat pertama, DPR dan pemerintah bersepakat membawa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU. Namun, pemerintah dan DPR menyadari masih terdapat materi muatan pasal yang menjadi polemik di masyarakat yang belum terselesaikan, tapi mesti diambil keputusan sebagai bagian dari politik hukum pembentuk Undang-Undang.
“Apakah Rancangan KUHP ini dapat dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat dua untuk diambil keputusan dalam rapat paripurna?” tanya Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin dalam rapat pengambilan keputusan tingkat pertama bersama pemerintah di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (18/9/2019). Baca Juga: Rencana Pengesahan RKUHP Disebut Tanpa Legitimasi
Sebanyak sepuluh fraksi memberi persetujuan, tapi beberapa fraksi setuju dengan sejumlah catatan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari RKUHP. Sepuluh fraksi itu adalah Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Demokrat, PAN, PKS, PPP, Nasdem, dan Hanura.
Seperti Fraksi Gerindra, meski menyetujui RKUHP diboyong ke rapat paripurna, namun dalam pandangan mini fraksi yang dibacakan Faisal Muharrami Saragih memberi catatan terkait delik perbuatan zina di luar pernikahan atau kumpul kebo. Menurutnya, tindak pidana (asusila) itu merusak tata nilai ikatan perkawinan terkait kepentingan orang banyak.
Menurutnya, perbuatan zina di luar pernikahan menyebabkan permasalahan sosial, sehingga perlu ditangani secara komprehensif. Meski terdapat larangan dan sanksi 6 bulan penjara, namun dinilai belum optimal. Karena itu, Fraksi Gerindra meminta penambahan sanksi hukuman pemidanaan. “Kami minta pemberatan (penambahan) hukuman menjadi 1 tahun penjara,” usulnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani dalam pandangan mininya prinsipnya memberi persetujuan. Hanya saja, Arsul menjawab kekhawatiran kalangan media terkait pengaturan Pasal 281 huruf c RKUHP. Pasal itu menyebutkan, “Dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:..c. tanpa izin pengadilanmerekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.”
Sebab, Pasal 281 huruf c RKUHP itu ada kekhawatiran penerapannya yang bisa menjerat kalangan media. Namun Arsul menepis kekhawatiran itu. Menurutnya, penerapan pasal tersebut mesti membaca penjelasan pasalnya. Proses persidangan yang tertutup dan/atau hakim yang tidak membolehkan merekam dan mempublikasikan proses persidangan meskipun digelar terbuka. Namun, bila merekam dan mempublikasikan secara langsung, maka dapat dikenakan delik. “Jadi Insya Allah tidak mengkhawatirkan,” ujarnya.