Melihat Putusan Peradilan Hong Kong terkait Kecelakaan di Perairan Indonesia
Kolom

Melihat Putusan Peradilan Hong Kong terkait Kecelakaan di Perairan Indonesia

Khususnya terkait pembatasan tanggung jawab Pertamina dalam kecelakaan tersebut. Sudah waktunya untuk memperbaharui hukum maritim Indonesia.

Kolase Stefanny O Simorangkir (kiri) dan Boni Facius Justin (kanan). Foto: Istimewa
Kolase Stefanny O Simorangkir (kiri) dan Boni Facius Justin (kanan). Foto: Istimewa

Pada tanggal 23 September 2021 yang lalu, Indonesia baru saja memperingati hari Maritim Nasional. Sebagai negara kepulauan yang memiliki tujuan menjadi global maritime axis, Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang salah satunya akan dibahas dalam artikel ini yaitu terkait dengan insiden tubrukan yang terjadi pada tahun 2019 di perairan Indonesia dekat Pulau Bintan.

Insiden tubrukan tersebut melibatkan kapal berbendera Hong Kong: MT ANTEA/ANTEA dan kapal berbendera Vanuatu: MV STAR CENTURION/CENTURION yang mengakibatkan tenggelamnya kapal tersebut. Kecelakaan ini sempat diberitakan secara luas dan melibatkan bantuan Singapura untuk menyelamatkan beberapa awak kapal CENTURION yang tenggelam setelah kecelakaan.

Sebagaimana umumnya terjadi dalam kecelakaan kapal, sengketa di antara pemilik kapal yang terlibat dalam kecelakaan kemudian timbul. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah, penanganan sengketa tersebut tidak diadili di peradilan Indonesia (yang seharusnya merupakan salah satu forum yang berwenang untuk menangani sengketa yang timbul dari kecelakaan mengingat lokasi kecelakaan terjadi di Indonesia).

Faktanya, sengketa yang timbul dari kecelakaan justru dibawa dan diselesaikan di forum Pengadilan Tingkat Pertama Hong Kong melalui Putusan pada bulan Februari 2021 (Putusan Hong Kong). Pemilihan forum tersebut dilakukan oleh pemilik dan pengelola kapal ANTEA yaitu PT Pertamina (Persero) dalam upaya untuk membatasi tanggung jawabnya atas kerugian yang ditimbulkan karena kecelakaan tersebut.

Upaya Pertamina di atas seolah memicu pertanyaan yang sangat mendasar. Alasan apa yang mendasari salah satu Badan Usaha Milik Negara terbesar di Indonesia harus memperjuangkan hak-haknya melalui forum pengadilan asing dan tidak memilih forum penyelesaian sengketa di dalam negeri/Indonesia?

Kerangka Peraturan Hong Kong dan Analisis atas Putusan Hong Kong

Berbeda halnya dengan Indonesia, Convention of Limitation of Liability for Maritime Claims of 1976 atau Konvensi Pembatasan Tanggung Jawab untuk Klaim Maritim 1976 (Konvensi) telah menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan Hong Kong melalui Cap. 434 Merchant Shipping (Limitation of Shipowners Liability) Ordinance (Ordonansi Hong Kong) sejak Tahun 1993.

Namun, Hong Kong secara khusus menunda keberlakuan Pasal 2 ayat 1 (d) Konvensi melalui Bagian 15 pada Ordonansi Hong Kong tersebut. Penangguhan tersebut menyebabkan pembatasan tanggung jawab untuk beberapa klaim maritim menjadi belum berlaku, seperti klaim yang terkait dengan biaya untuk pengangkutan bangkai kapal/wreck removal yang tenggelam (yang dijadikan dasar oleh Pertamina dalam membatasi tanggung jawabnya terkait dengan Kecelakaan). 

Tags:

Berita Terkait