Konstruksi Hukum Pertanggungan Asuransi Kesehatan
Kolom

Konstruksi Hukum Pertanggungan Asuransi Kesehatan

Penting untuk membaca dan memahami isi pertanggungan kesehatan dari suatu produk asuransi kesehatan sebelum membuat kesepakatan dan menandatangani polis.

Konstruksi Hukum Pertanggungan Asuransi Kesehatan
Hukumonline

Belakangan ini media cetak dan elektronik ramai memberitakan keluhan seorang tokoh publik pada layanan produk asuransi kesehatan. Persoalannya adalah konsumen merasa tidak mendapat manfaat pertanggungan sesuai dengan premi yang telah dibayarkan. Artikel ini tidak secara khusus membahas mengenai kasus tersebut, tetapi artikel ini membahas mengenai konstruksi hukum terkait pertanggungan pada asuransi kesehatan sehingga masyarakat memiliki kesadaran akan produk asuransi kesehatan.

Secara hukum, asuransi diatur di dalam Pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yakni “Suatu persetujuan untung-untungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti”.

Selanjutnya pada Pasal 1 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dijelaskan bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi.

Dari konstruksi ini nampak bahwa Pasal 1774 KUH Perdata merupakan dasar pemahaman yang dibentuk pada Pasal 1 UU Perasuransian. Irisan keduanya adalah adanya kata perjanjian, sementara definisi ‘untung-untungan’ sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1774 KUH Perdata dalam bentuk khusus (lex specialis) dijabarkan dalam frasa perjanjian antara perusahaan asuransi dan pemegang polis.

Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat 1 huruf (b) UU Perasuransian menjadi dasar bagi produk asuransi kesehatan yang banyak ditawarkan oleh perusahaan asuransi. Pasal 1 huruf (b) UU Perasuransian menjelaskan bahwa pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Sementara lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat 6 UU Perasuransian menerangkan usaha asuransi jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Artinya jika mengacu pada Pasal 1 ayat 1 huruf (b) dan Pasal 1 ayat 6 UU Perasuransian maka perjanjian untung-untungan tersebut dituangkan di dalam dokumen polis.

Dokumen polis secara hukum dikenal dalam Pasal 255 KUH Dagang yang menyebutkan bahwa pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan akta, yang diberi nama polis. Lebih lanjut Pasal 1 ayat 22 UU Perasuransian menjelaskan bahwa pemegang polis adalah pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau peru sahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain. 

Tags:

Berita Terkait