Dasar Penerapan KUH Perdata di Indonesia
Kolom

Dasar Penerapan KUH Perdata di Indonesia

Ada empat cara norma-norma dalam BW dapat diterapkan dalam perkara antara penduduk Indonesia.

Bacaan 5 Menit

Saat ini nampaknya sangat jarang ditemukan adanya praktik penundukan diri semacam ini. Meskipun secara normatif, ketentuan aquo belum pernah dicabut oleh peraturan perundang-undangan sehingga seharusnya masih berlaku. Penundukan diri juga dianggap terjadi saat dilakukannya suatu perbuatan yang tidak dikenal dalam hukum yang berlaku bagi golongan pribumi, dalam hal ini yang dimaksud ialah dalam hukum adat. Seperti saat orang bangsa Indonesia melakukan perbuatan hukum berupa cessie, novasi ataupun inbreng ke dalam perseroan untuk memperoleh bagian atas saham yang pada prinsipnya tidak dikenal dalam hukum adat. Dalam kondisi demikian, maka pelaku perbuatan tersebut dianggap telah menundukkan diri secara diam-diam kepada hukum perdata eropa atau BW.

Kedua, melalui pilihan hukum. Pilihan hukum pada prinsipnya dapat terjadi saat BW maupun hukum adat mengatur mengenai suatu peristiwa yang sama. Seperti dalam hal jual beli yang sama-sama diatur oleh hukum adat dan BW. Serupa dengan proses pada penundukan diri, pemilihan hukum dapat terjadi secara terang-terangan maupun secara diam-diam.

Pemilihan hukum secara terang-terangan dapat dilihat dalam klausul-klausul perjanjian yang menunjuk dengan tegas norma yang digunakan atau dinyatakan secara tegas pada saat melakukan perjanjian. Secara diam-diam, pilihan hukum dapat terjadi misalkan dalam suatu gugatan serta jawaban atas gugatan, di mana para pihak mendasarkan dalil-dalil sengketanya pada norma-norma dalam BW. Sehingga para pihak dianggap memilih kaidah hukum yang diatur dalam BW untuk diterapkan terhadap penyelesaian sengketa tersebut.

Namun perlu diingat, dalam hal perjanjian yang objeknya adalah hak atas tanah, maka prinsipnya berlaku hukum adat, dan tidak dimungkinkan adanya pilihan hukum (vide Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1960). Pilihan hukum (choice of law) ini pada prinsipnya hanya dapat dilakukan dalam suatu perbuatan hukum, oleh karenanya terhadap perbuatan melawan hukum atau perbuatan lain yang bukan merupakan perbuatan hukum, tidak berlaku adanya prinsip pilihan hukum.

Ketiga, melalui penerapan Asas Die normative kraft des faktischen. Asas ini pada pokoknya memberlakukan suatu norma karena ada suatu “kenyataan” atau feit ataupun fakta bahwa norma tersebut digunakan oleh masyarakat pada wilayah tersebut untuk menyelesaikan suatu perkara secara berulang.

Indikatornya ialah norma tersebut digunakan sebagai dasar hukum dalam putusan-putusan pengadilan secara berulang-ulang pada wilayah tersebut atau masyarakat di wilayah tersebut terus menerus melakukan perbuatan atau menerapkan norma-norma tersebut secara terus menerus dalam tiap-tiap perbuatan hukumnya. Akibatnya, penerapan norma atau kebiasaan tersebut meningkat menjadi “kesadaran hukum” masyarakat yang bersangkutan, dengan pemahaman masyarakat bahwa memang demikianlah hukumnya.

Apabila terjadi kondisi di mana norma dalam BW digunakan secara berulang-ulang dalam suatu bidang hukum, maka terhadap sengketa dalam bidang tersebut, Hakim berdasarkan pada asas Die normative kraft des faktischen dapat menggunakan norma dalam BW untuk menyelesaikan dan mengadili perkara tersebut. Sekalipun terhadap masyarakat tersebut prinsipnya bukan orang yang terhadapnya berlaku BW.

Tags:

Berita Terkait