Dasar Penerapan KUH Perdata di Indonesia
Kolom

Dasar Penerapan KUH Perdata di Indonesia

Ada empat cara norma-norma dalam BW dapat diterapkan dalam perkara antara penduduk Indonesia.

Bacaan 5 Menit
Kolase Petra Kusuma Aji (kiri) dan Akmal Adicahya (kanan). Sumber: Istimewa
Kolase Petra Kusuma Aji (kiri) dan Akmal Adicahya (kanan). Sumber: Istimewa

Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Nomor 3 Tahun 1963 telah mengajukan “gagasan” agarBurgerlijk Wetboek (BW) tidak dianggap sebagai Undang-Undang melainkan sebagai suatu dokumen yang menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis. Sehingga secara implisit Mahkamah Agung --pada masa itu melalui SEMA a quo-- tidak ingin menjadikan B.W. sebagai suatu sumber hukum yang mengikat di Indonesia sejajar dengan undang-undang, melainkan sekadar referensi atas suatu jenis hukum tak tertulis yang bersifat privat.

Namun, faktanya hingga kini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek --selanjutnya disebut dengan BW-- tetap digunakan oleh banyak pihak dan dikutip oleh banyak putusan sebagai dasar hukum untuk memutus suatu sengketa. BW juga dianggap sebagai suatu kaidah hukum yang bersifat mengikat layaknya undang-undang.

Bahkan, lebih dari itu, norma-norma yang terdapat dalam BW seringkali digunakan oleh hakim dalam memutus sengketa-sengketa perdata di antara golongan Bumiputera. Padahal sebagaimana jamak diketahui, ketentuan-ketentuan dalam BW pada prinsipnya hanya berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing, dan tidak berlaku bagi golongan Bumiputera.

Meskipun misalnya penggolongan penduduk dianggap sudah berlaku lagi dikarenakan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang hanya mengenal dua kewarganegaraan, yaitu Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, tetap saja diperlukan penjelasan mengenai penerapan BW sebagai hukum perdata terhadap warga negara Indonesia. Karena selain BW, masih terdapat banyak sumber hukum perdata lainnya seperti hukum adat dan hukum agama, yang pada saat bersamaan semuanya masih berlaku, sehingga menjadi permasalahan, kalau penggolongan penduduk --berdasarkan Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling-- sudah dianggap tidak ada lagi.

Lalu kaidah hukum perdata yang mana yang harus diterapkan dalam suatu peristiwa hukum, dan terhadap siapa ketentuan tersebut harus diterapkan? Namun demikian, Penulis berpendapat bahwa secara yuridis penggolongan penduduk masihlah berlaku, meskipun secara sosiologis ketentuan ini sudah tidak lagi banyak digunakan.

Sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, meskipun pada prinsipnya BW hanya berlaku bagi penduduk golongan Eropa dan Timur Asing, namun terhadap penduduk golongan pribumi ternyata dalam praktiknya seringkali diterapkan aturan yang termuat dalam BW. Menurut Penulis sendiri, dengan memperhatikan perkembangan zaman serta ketentuan penggolongan penduduk yang berlaku, maka norma-norma dalam BW dapat diterapkan dalam perkara antara penduduk pribumi melalui empat cara, yaitu sebagai berikut.

Pertama, melalui penundukan diri. Secara yuridis penundukan diri kepada ketentuan dalam BW atas suatu perbuatan tertentu, dapat dilakukan melalui penuangan pernyataan penundukan diri tersebut dalam akta yang dibuat khusus untuk perbuatan yang telah dilakukan ataupun akta penundukan diri secara terpisah. Pasal 27 ayat (1) Staatsblad 1917 No. 12 menyatakan: "Penundukan diri itu dilakukan dengan akta, yang dibuat untuk perbuatan yang telah dilakukan, atau dengan akta tersendiri".

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait