Anakronisme: Mahar Politik dari Sudut Pandang Hukum Pidana
Berita

Anakronisme: Mahar Politik dari Sudut Pandang Hukum Pidana

Muncul usulan agar mahar politik dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pemungutan suara dalam pemilihan. Foto: MYS
Ilustrasi pemungutan suara dalam pemilihan. Foto: MYS

Ratusan daerah akan menggelar pilkada serentak pada 9 Desember mendatang. Para kandidat akan bertarung untuk memenangkan pemilihan, sementara di sejumlah daerah calon tunggal akan bersaing dengan kotak kosong. Salah satu problem yang sering muncul adalah mahar politik. Secara umum, mahar politik adalah uang yang diberikan agar seseorang dipinang atau dicalonkan oleh partai politik dalam pemilihan. Mahar politik bukan hal baru dalam perpolitikan di Indonesia, namun secara hukum sulit untuk dibuktikan.

Dalam diskusi yang digelar Perkumpulan Dosen Hukum Pidana Indonesia, Jum’at (18/9), sejumlah akademisi juga mengungkapkan skeptisisme tentang kemungkinan memproses pelaku mahar politik secara pidana. Bukan saja tergantung pada kemauan aparat penegak hukum untuk memprosesnya, tetapi juga karena rumusan Undang-Undang tidak terlalu kuat mengatur perbuatan pidana mahar politik. Alhasil, mahar politik sudah dianggap sesuatu yang biasa.

Dosen Hukum Pidana Universitas Jayabaya, Rocky Marbun, mengasosiasikan fenomena mahar politik itu dengan anakronisme (dalam bahasa Yunani diartikan secara harfiah: melawan waktu). Istilah ini pada dasarnya menggambarkan suatu karya yang tidak sesuai dengan kronologis waktu, misalnya penempatan objek yang tidak sesuai dengan zaman ketika karya itu ditampilkan. Dalam konteks mahar politik, Rocky menyebut anakronisme sebagai seni yang mencoba menampilkan setting sejarah pada era tertentu yang di dalamnya terjadi penyimpangan dan penyimpangan itu dianggap biasa. “Seperti sudah menjadi habituasi, kebiasaan,” ujarnya.

Mahar politik diatur dalam Pasal 47  UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota  (diubah dengan UU No. 10 Tahun 2016). Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota. Jika terbukti menerima imbalan, parpol atau gabungan parpol dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Tetapi larangan itu harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 187B UU No. 10 Tahun 2016 menyatakan anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota diancam pidana paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda antara 300 juta hingga 1 miliar rupiah.

(Baca juga: Menimbang Penanganan Sengketa Candidacy Buying dalam Pilkada).

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, menilai perumusan larangan pemberian mahar politik dalam UU No. 1 Tahun 2015 dan sanksinya dalam UU No. 10 Tahun 2016 menunjukkan pembentuk undang-undang terkesan tidak rela penerapan sanksi karena aturannya dicicil. Dalam praktiknya, penggunaan pasal sanksi itu juga bergantung pada pembuktian dan kesediaan aparat penegak hukum untuk membongkar mahar politik. Selama ini, penegakan hukum terhadap mahar politik nyaris tak dilakukan.

Bandingkan misalnya jenis sanksi dalam pidana pemilihan kepala daerah dan sanksi dalam pemilihan umum. Pasal 228 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan parpol dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam hal parpol terbukti menerima imbalan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, parpol bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya.

Tags:

Berita Terkait